KISAH ASIH
Oleh: Jumisih*
Oleh: Jumisih*
Adalah seorang gadis perempuan keturunan Jawa, Asih namanya. Dari namanya Asih memang sosok perempuan umum yang dilahirkan di pedesaan, dan memang demikian adanya—Asih lahir dan dibesarkan di daerah pesisir, Jawa Tengah—walaupun Asih mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang pegawai, mengingat prestasinya di sekolah yang selalu mendapat predikat terbaik-- cita-citanya yang terpaksa dikubur dalam-dalam, setelah Asih gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri—Dan semenjak kegagalan itu, Asih mengikuti tradisi gadis-gadis di kampungnya, pergi merantau untuk mencari kerja ke Jakarta dengan harapan dapat memperbaiki kondisi perekonomian keluarga—yang miskin--
Sesampai di Jakarta, Asih pun melamar kerja dari satu pabrik ke pabrik yang lain dan tak lupa setiap hari Asih selalu berdoa mudah-mudahan mendapatkan pekerjaan sehingga kelak bisa membantu orangtuanya dengan kiriman uang setiap bulanya sebagai wujud bhaktinya terhadap orang tua yang selalu di cintainya. Hampir satu bulan Asih keliling kawasan industri, hingga akhirnya Asih di terima di sebuah perusahaan garment yang memproduksi gaun Pengantin. Senang sekali perasaanya waktu itu, akhirnya doanya terkabul pikirnya.
Perusahaan garment tempat Asih bekerja adalah sebuah perusahaan yang relatif kecil di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Perusahaan ini mempunyai karyawan sekitar 400 an orang dan mayoritas adalah buruh perempuan. Asih di terima di bagian Hand Work (HW) atau Pasang Mutiara (PM). Sehari-harinya Asih menghiasi Gaun-gaun Pengantin dengan monte-monte warna-warni, menyenangkan memang melihat hasil kerjanya itu. Gaun Pengantin menjadi tampak lebih indah dengan hiasan monte. Harganya bisa mencapai $300-$400 setiap satu bajunya jika di ekspor ke luar negeri; ke Korea, Amerika, Belanda, Mexico dan lain-lain. Mahal sekali pikirnya, seorang buruh yang kerjanya sudah bertahun-tahunpun belum tentu dapat membeli satu gaunnya.
Sesampai di Jakarta, Asih pun melamar kerja dari satu pabrik ke pabrik yang lain dan tak lupa setiap hari Asih selalu berdoa mudah-mudahan mendapatkan pekerjaan sehingga kelak bisa membantu orangtuanya dengan kiriman uang setiap bulanya sebagai wujud bhaktinya terhadap orang tua yang selalu di cintainya. Hampir satu bulan Asih keliling kawasan industri, hingga akhirnya Asih di terima di sebuah perusahaan garment yang memproduksi gaun Pengantin. Senang sekali perasaanya waktu itu, akhirnya doanya terkabul pikirnya.
Perusahaan garment tempat Asih bekerja adalah sebuah perusahaan yang relatif kecil di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Perusahaan ini mempunyai karyawan sekitar 400 an orang dan mayoritas adalah buruh perempuan. Asih di terima di bagian Hand Work (HW) atau Pasang Mutiara (PM). Sehari-harinya Asih menghiasi Gaun-gaun Pengantin dengan monte-monte warna-warni, menyenangkan memang melihat hasil kerjanya itu. Gaun Pengantin menjadi tampak lebih indah dengan hiasan monte. Harganya bisa mencapai $300-$400 setiap satu bajunya jika di ekspor ke luar negeri; ke Korea, Amerika, Belanda, Mexico dan lain-lain. Mahal sekali pikirnya, seorang buruh yang kerjanya sudah bertahun-tahunpun belum tentu dapat membeli satu gaunnya.
bulan kemudian, Asih di pindahkan ke bagian Gudang yang akhirnya membawanya menjadi orang yang cukup dekat dengan Direktur Perusahaan, karena keseharin kerjanya selalu berhubungan dengan pimpinan berkaitan dengan keluar masuknya barang. Namun kedekatannya dengan Direktur, tidak membuat Asih menjadi sombong.
Sering dia menyaksikan teman-teman bagian Sewing di maki-maki oleh Pengawasnya karena tidak mendapatkan target yang maksimal, bahkan tak jarang ada yang rela memakai jam istirahatnya untuk bekerja dengan harapan tidak di marahin oleh Pengawasnya.
Kalau misalnya terjadi kerusakan (reject) sedikit saja terhadap gaun itu bisa di denda, di potong gajinya. Padahal gaji buruh tak seberapa, dan dendanya bisa mencapai ¼ dari total gajinya, sehingga buruh yang terkena denda itu, pasati akan kebingungan bagaimana cara mengatur dan mengalokasikan uangnya untuk bisa memenuhi semua kebutuhan hidupanya, demikian yang sering dipikirkan Asih saat bekerja di Gudang.
Sering juga teman-temanya di skorsing (lembur untuk mengejar target produksi, tapi tidak mendapat upah lembur, dianggap sebagai sanksi) karena sholat, atau karena sakit. Kejadian pingsan di saat jam-jam kerja juga sudah menjadi pemandangan yang biasa.
Asih berfikir, kenapa sedemikian kejam kondisi kerja di pabriknya. Apa tidak ada cara yang lebih santun untuk mengatur karyawan? Posisinya yang dekat dengan pimpinan perusahaan juga belum membuatnya berani memberikan usul untuk sedikit merubah situasi kerja menjadi lebih baik.
Karena kondisi kerja yang sudah tidak bisa di pertahankan lagi , terjadilah pemogokan spontan yang di picu pengumuman bahwa sisa THR tidak akan dibayar karena perusahaan sedang sepi order. Asihpun ikut mogok dan demo di depan pabrik, bersama teman-temanya, kepanasan dan kehujanan. Asyik juga demo, pikirnya. Cuma demonya menjadi tidak terarah setelah mendapat intimidasi dari personalia bahwa yang demo gajinya akan di potong, dan akan di PHK. Teman-temanya menjadi takut dan kebingungan, ada yang akhirnya masuk dan ada juga yang pulang, padahal belum ada keberhasilan sama sekali.
Keesokan harinya semua teman-temanya masuk kerja. Perasaan takut menyelimuti teman-temanya juga dirinya, takut di anggap profokator, takut di PHK, takut di marahin sama pengawas dan lain-lain, Asih juga sama takutnya. Akhirnya teman-teman bersepakat untuk meminta bantuan sama orang yang lebih tahu tentang hal itu. Beberapa teman kemudian berkumpul dan mendatangi sebuah Serikat Buruh yang alamatnya ada di sebuah selebaran yang pernah dibagikan di pintu keluar kawasan—Serikat Buruh ini paling rajin membagikan selebaran, entah tentang persoalan sehari-hari buruh, maupun persoalan rakyat secara umum--Selanjutnya atas usul dari organizer serikat buruh ini, terjadilah pertemuan-pertemuan rutin (diskusi) seputar persoalan buruh dan cara penanganannya. Asihpun rajin mengikuti pertemuan-pertemuan itu, ternyata banyak pengetahuan yang dia dapatkan dari pertemuan-pertemuan itu. Asih dan teman-temanya menjadi tahu tentang apa hak normatif dan hak non normatif, tahu tentang taktik pemogokan, taktik negosiasi atau berunding, dan lain-lain.
Dari pertemua-pertemuan tersebut, akhirnya disepakati untuk kembali lagi melakukan pemogokan, kali ini dengan rencana yang lebih baik; Tuntutan lebih diperjelas, struktur pemogokan dibentuk hingga tiap line, tim perunding dibentuk, perangkat aksi dibuat, dan Asihpun dipercaya sebagai Korlap (koordinator lapangan). Ternyata Asih bisa memimpin aksi, ternyata Asih bisa berorasi dan memimpin jalanya aksi. Dan dengan persiapan yang cukup baik, teman-teman juga kompak dan bersatu. Hanya para superviser yang tidak ikut aksi—memang sehari-harinya superviser sangat sering membela pengusaha--
Pemogokan pun berlangsung hingga keesokan harinya, dimana di hari ke dua ini, Asih beralih posisi menjadi tim negosiasi, bersama beberapa teman perwakilan dari bagian-bagian lain. Tim nego mencoba mengajak berunding pihak perusahaan, namun ditolak oleh managemen perusahaan, dan setelah melakukan pertemuan besar diantara buruh, akhirnya semua bersepakat untuk mendatangi Kantor Depnaker Pusat di Jln. Gatot Subroto--waktu itu Yakob Nuwawea yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja—
Berkat kekompakan dan semangat juang yang tinggi, akhirnya pada hari ke tiga, pihak Depnaker mendatangi pihak Perusahaan, dan kemudian melakukan perundingan bersama—tripartite—yaitu antara pihak buruh, management dan beberapa utusan dari Depnaker Pusat.
Meskipun perundingan berlangsung alot, akhirnya 75 % tuntutan buruh dipenuhi oleh management, antara lain : persoalan air, sholat, cuti haid, cuti tahunan, uang transpot, uang makan, denda (potongan uang rijek) di hapuskan, mutasi dan tunjangan gaji berkala.
Hari ke empat, semuanya kembali masuk bekerja dengan perasaan puas dan bangga. Kebahagiaan itu tercermin dari wajah-teman-temanya yang ceria dan semangat dalam melakukan kerja-kerjanya. Walaupun di dalam hati kecil Asih dan teman-temanya masih ada pertanyaan “kira-kira di PHK gak ya? Kira-kira ada yang di mutasi gak ya?” Dan berbagai macam pertanyaan lain menyelimuti benak masing-masing.
Ternyata dugaannya benar, Asih di diemin oleh Direkturnya, Asih di mutasi ke bagian produksi, Asih di isolasi/di jauhkan dari teman-temanya. Namun semangat untuk tetap mempertahankan hasil-hasil yang sudah didapat membuat Asih dan teman-teman meneruskan pertemuan-pertemuan, dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang lainnya, juga pertemuan di secretariat serikat buruh yang mendampingi, selain itu pertemuan juga membicarakan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dilakukan oleh pihak managemen.
Dan untuk memperkuat barisan, segera dibentuk Serikat Buruh Tingkat Pabrik, dimana seluruh perwakilan bagian/line menjadi pimpinan bersama, dengan sebagian diantaranya dipilih menjadi pengurus hariannya, dan Asih terpilih menjadi divisi advokasi.
Hari-hari selanjutnya, hidup Asih mulai disibukan dengan pertemuan-pertemuan, dengan dikusi-diskusi, pendidikan-pendikan, membagi-bagikan selebaran, demontrasi-demontrasi, bahkan tak jarang bersama dengan teman-teman yang lain, juga dari pabrik lainnya, Asih terlibat dalam demonstasi ke pusat-pusat kekuasaan; Istana Negara atau DPR/MPR, baik dengan tuntutan kaum buruh maupun dengan tuntutan-tuntutan yang lebih umum, seperti menolak kenaikan harga BBM, menolak penggusuran, menuntut persoalan banjir dan lain sebagainya.
Asih kini, telah menjadi seorang aktivis, menjadi bagian dari kaum buruh yang sedang berjuang hingga kemenangan sejati bisa diraih.
* Kader Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), Koordinator Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jakarta Utara, Divisi Politik Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP PPBI)
Sering dia menyaksikan teman-teman bagian Sewing di maki-maki oleh Pengawasnya karena tidak mendapatkan target yang maksimal, bahkan tak jarang ada yang rela memakai jam istirahatnya untuk bekerja dengan harapan tidak di marahin oleh Pengawasnya.
Kalau misalnya terjadi kerusakan (reject) sedikit saja terhadap gaun itu bisa di denda, di potong gajinya. Padahal gaji buruh tak seberapa, dan dendanya bisa mencapai ¼ dari total gajinya, sehingga buruh yang terkena denda itu, pasati akan kebingungan bagaimana cara mengatur dan mengalokasikan uangnya untuk bisa memenuhi semua kebutuhan hidupanya, demikian yang sering dipikirkan Asih saat bekerja di Gudang.
Sering juga teman-temanya di skorsing (lembur untuk mengejar target produksi, tapi tidak mendapat upah lembur, dianggap sebagai sanksi) karena sholat, atau karena sakit. Kejadian pingsan di saat jam-jam kerja juga sudah menjadi pemandangan yang biasa.
Asih berfikir, kenapa sedemikian kejam kondisi kerja di pabriknya. Apa tidak ada cara yang lebih santun untuk mengatur karyawan? Posisinya yang dekat dengan pimpinan perusahaan juga belum membuatnya berani memberikan usul untuk sedikit merubah situasi kerja menjadi lebih baik.
Karena kondisi kerja yang sudah tidak bisa di pertahankan lagi , terjadilah pemogokan spontan yang di picu pengumuman bahwa sisa THR tidak akan dibayar karena perusahaan sedang sepi order. Asihpun ikut mogok dan demo di depan pabrik, bersama teman-temanya, kepanasan dan kehujanan. Asyik juga demo, pikirnya. Cuma demonya menjadi tidak terarah setelah mendapat intimidasi dari personalia bahwa yang demo gajinya akan di potong, dan akan di PHK. Teman-temanya menjadi takut dan kebingungan, ada yang akhirnya masuk dan ada juga yang pulang, padahal belum ada keberhasilan sama sekali.
Keesokan harinya semua teman-temanya masuk kerja. Perasaan takut menyelimuti teman-temanya juga dirinya, takut di anggap profokator, takut di PHK, takut di marahin sama pengawas dan lain-lain, Asih juga sama takutnya. Akhirnya teman-teman bersepakat untuk meminta bantuan sama orang yang lebih tahu tentang hal itu. Beberapa teman kemudian berkumpul dan mendatangi sebuah Serikat Buruh yang alamatnya ada di sebuah selebaran yang pernah dibagikan di pintu keluar kawasan—Serikat Buruh ini paling rajin membagikan selebaran, entah tentang persoalan sehari-hari buruh, maupun persoalan rakyat secara umum--Selanjutnya atas usul dari organizer serikat buruh ini, terjadilah pertemuan-pertemuan rutin (diskusi) seputar persoalan buruh dan cara penanganannya. Asihpun rajin mengikuti pertemuan-pertemuan itu, ternyata banyak pengetahuan yang dia dapatkan dari pertemuan-pertemuan itu. Asih dan teman-temanya menjadi tahu tentang apa hak normatif dan hak non normatif, tahu tentang taktik pemogokan, taktik negosiasi atau berunding, dan lain-lain.
Dari pertemua-pertemuan tersebut, akhirnya disepakati untuk kembali lagi melakukan pemogokan, kali ini dengan rencana yang lebih baik; Tuntutan lebih diperjelas, struktur pemogokan dibentuk hingga tiap line, tim perunding dibentuk, perangkat aksi dibuat, dan Asihpun dipercaya sebagai Korlap (koordinator lapangan). Ternyata Asih bisa memimpin aksi, ternyata Asih bisa berorasi dan memimpin jalanya aksi. Dan dengan persiapan yang cukup baik, teman-teman juga kompak dan bersatu. Hanya para superviser yang tidak ikut aksi—memang sehari-harinya superviser sangat sering membela pengusaha--
Pemogokan pun berlangsung hingga keesokan harinya, dimana di hari ke dua ini, Asih beralih posisi menjadi tim negosiasi, bersama beberapa teman perwakilan dari bagian-bagian lain. Tim nego mencoba mengajak berunding pihak perusahaan, namun ditolak oleh managemen perusahaan, dan setelah melakukan pertemuan besar diantara buruh, akhirnya semua bersepakat untuk mendatangi Kantor Depnaker Pusat di Jln. Gatot Subroto--waktu itu Yakob Nuwawea yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja—
Berkat kekompakan dan semangat juang yang tinggi, akhirnya pada hari ke tiga, pihak Depnaker mendatangi pihak Perusahaan, dan kemudian melakukan perundingan bersama—tripartite—yaitu antara pihak buruh, management dan beberapa utusan dari Depnaker Pusat.
Meskipun perundingan berlangsung alot, akhirnya 75 % tuntutan buruh dipenuhi oleh management, antara lain : persoalan air, sholat, cuti haid, cuti tahunan, uang transpot, uang makan, denda (potongan uang rijek) di hapuskan, mutasi dan tunjangan gaji berkala.
Hari ke empat, semuanya kembali masuk bekerja dengan perasaan puas dan bangga. Kebahagiaan itu tercermin dari wajah-teman-temanya yang ceria dan semangat dalam melakukan kerja-kerjanya. Walaupun di dalam hati kecil Asih dan teman-temanya masih ada pertanyaan “kira-kira di PHK gak ya? Kira-kira ada yang di mutasi gak ya?” Dan berbagai macam pertanyaan lain menyelimuti benak masing-masing.
Ternyata dugaannya benar, Asih di diemin oleh Direkturnya, Asih di mutasi ke bagian produksi, Asih di isolasi/di jauhkan dari teman-temanya. Namun semangat untuk tetap mempertahankan hasil-hasil yang sudah didapat membuat Asih dan teman-teman meneruskan pertemuan-pertemuan, dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang lainnya, juga pertemuan di secretariat serikat buruh yang mendampingi, selain itu pertemuan juga membicarakan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dilakukan oleh pihak managemen.
Dan untuk memperkuat barisan, segera dibentuk Serikat Buruh Tingkat Pabrik, dimana seluruh perwakilan bagian/line menjadi pimpinan bersama, dengan sebagian diantaranya dipilih menjadi pengurus hariannya, dan Asih terpilih menjadi divisi advokasi.
Hari-hari selanjutnya, hidup Asih mulai disibukan dengan pertemuan-pertemuan, dengan dikusi-diskusi, pendidikan-pendikan, membagi-bagikan selebaran, demontrasi-demontrasi, bahkan tak jarang bersama dengan teman-teman yang lain, juga dari pabrik lainnya, Asih terlibat dalam demonstasi ke pusat-pusat kekuasaan; Istana Negara atau DPR/MPR, baik dengan tuntutan kaum buruh maupun dengan tuntutan-tuntutan yang lebih umum, seperti menolak kenaikan harga BBM, menolak penggusuran, menuntut persoalan banjir dan lain sebagainya.
Asih kini, telah menjadi seorang aktivis, menjadi bagian dari kaum buruh yang sedang berjuang hingga kemenangan sejati bisa diraih.
* Kader Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), Koordinator Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jakarta Utara, Divisi Politik Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP PPBI)
|