Selasa, 02 Februari 2010

Indonesia di bawah Rezim Kapitalis




Indonesia: Bangsa Pedagang Sumber Daya dan Bangsa Konsumtif
Oleh: Paulus Suryanta Ginting*

Krisis Kapitalisme pada akhir 70-an dan 80-an telah mendorong ekonom-ekonom borjuis seperti Milton Friedman, F. Von Hayek untuk merumuskan obat mujarab baru, suatu modifikasi yang lebih jitu dari konsep ekonomi Adam Smith, itulah yang kita kenal selama ini sebagai Neoliberalisme. Konsep Jalan tengah; sosial demokrat kanan; keynesianisme; welfare state, kesepakatan-kesepakatan Breeton Woods harus diperbaharui karena dianggap sudah usang; usang karena konsep tersebut berakhir pula dengan krisis, dan tidak bisa lagi berwatak progresif bagi penumpukan kapital.

Jadi, Neoliberalisme sesungguhnya adalah “obat dari krisis” sebelumnya, yakni krisis yang terjadi di negeri-negeri kapitalis (Eropa, Amerika, Jepang), dan akar krisisnya tetaplah sama: over-produksi, yang disebabkan meningkatnya harga-harga komoditi melalui spekulasi produk dan keuangan dan berakibat pada turunnya nilai riil pendapatan pekerja dan kaum miskin, sehingga tak cukup lagi signifikan untuk memutar siklus produksi komoditi kapitalisme. Walhasil, mandeglah produksi dan distribusi komoditi kapitalis, obatnya tentu saja: Perluasan Pasar dan Eksploitasi. Selanjutnya “Obat krisis” itu dibawa ke negeri-negeri berkembang, negeri-negeri yang lemah tenaga produktifnya, dimana banyak di antaranya sudah menerapkan sistem kapitalisme walaupun masih ada cukup banyak pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pergerakan komoditi dan uang, seperti halnya kapitalisme kroni di Indonesia.

Pada akhir 90-an, ketergantungan negeri-negeri dunia ketiga terhadap utang luar negeri telah memicu jatuhnya kesetimbangan neraca keuangan yang mengakibatkan capital outflows modal jangka pendek (hot money) yang ditanamkan oleh para spekulan finance ke negeri-negeri berkembang; yang tentu saja menggiurkan karena tawaran suku bungannya yang tinggi.

Meningkatnya kurs mata uang dalam negeri (contoh: Rupiah) terhadap US Dollar, membuat daya beli masyarakat menurun drastis, perbankan bangkrut secara cepat dan sporadis karena kredit macet, terutama bank yang menawarkan suku bunga yang tinggi padahal simpanan modalnya kecil, harga kebutuhan pokok melonjak tajam dan distribusinya macet yang, salah satu faktornya, adalah spekulan produk yang mencari untung dari perbedaan harga yang melonjak tersebut.

Selanjutnya, “obat krisis” kapitalisme yang telah digodok secara serius dalam washington consessus, di tumpangkan melalui pinjaman dana lembaga keuangan internasional (IMF, ADB, World Bank) yang telah di kooptasi oleh negara-negara kapitalis melalui jumlah suara yang tidak adil—karena didasarkan pada jumlah setoran dalam lembaga keuangan tersebut.

Fungsi dan tujuan utang menjadi semakin dalam dan licik: jika pada paska perang dunia ke II peminjaman utang terhadap berbagai negeri dunia ketiga dan negeri Eropa (yang kalah perang) diberikan melalui Marshal Plan dengan tujuan untuk memenangkan “perang dingin” dengan blok stalinis pro Uni Sovyet, dan keuntungan lainnya didapat melalui kemenangan pengaruh politik, keleluasan terbatas untuk investasi, serta perbedaan kurs yang menunjang perdagangan. Namun, sejak diterapkannya paket kebijakan struktural, pinjaman utang berfungsi lebih dalam, yakni sebagai “alat jebak” kapitalisme internasional untuk menempatkan negeri-negeri debitornya dalam rel-rel ekonomi yang memudahkan perluasan penghisapan korporasi internasional, di mana pada akhirnya ketergantungan pada utang membuat negeri-negeri yang sejak awal rendah tenaga produktifnya berakhir dengan deindustrialisasi.

Dalam prakteknya, paket kebijakan struktural sebagai “obat krisis” berakhir pula dengan krisis. Jauh sebelum krisis, yang saat ini diawali dari bengkaknya kedit macet perumahan (Sub prime Morgage) di Amerika Serikat, dan fluktuasi harga minyak internasional yang paling tinggi dalam sejarah, semuanya disebabkan oleh spekulan finance dan produk. Dan negeri-negeri di Amerika Latin, yang sudah sejak awal menjalankan paket kebijakan neoliberalisme, justru mengalami krisis dan ketimpangan kesejahteraan lebih dulu dan lebih dalam, baik itu yang disebut Teqquila Effect, Black Monday, ataupun keruntuhan bisnis dot com pada tahun 2000-an yang memicu krisis di Amerika Utara.

Penerapan kebijakan ekonomi neoliberal, membuat negeri-negeri kapitalis sendiri tak bisa mengontrol mekanisme pasar—yang menurut Adam Smith secara sederhana akan mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan negara melalui hukum permintaan dan penawaran; namun, pada kenyataannya tidak semudah omong kosong di atas kertas atau, pada kenyataannya, tak ada “invisible hand” yang sanggup menyeimbangkan ketimpangan dari ekonomi kapitalis yang penuh dengan ketidakadilan tersebut. Penggabungan kapital finance, kapital dagang, kapital industri yang diliberalisasikan dengan melepaskan integrasi ekonomi membuat tak ada sama sekali kontrol terhadap naik turunnya harga komoditi dan ketersediaan suatu komoditi secara regular, hasilnya serapan terhadap mayoritas komoditi pokok semakin hancur, dan imbasnya terhadap negeri-negeri yang tidak berkembang—yang ambruk industri nasionalnya karena capital flight akibat dari konsistensi pembayaran utang luar negeri, bunga pokok, surat utang negara, privatisasi aset negara, maupun ketidakadilan pasar bebas.

Sungguh, benar-benar kontradiktif kapitalisme itu: di satu sisi, kapitalisme internasional menempatkan negeri-negeri berkembang sebagai pasar bagi komoditinya, sumber buruh murah, lapangan eksploitasi alam; tapi, disisi lain, komoditas tersebut tak sanggup dibeli oleh mayoritas masyarakat negeri-negeri dunia ketiga. Rantai permainan saham yang panjang, yang juga dibantu oleh lembaga-lembaga pemberi nilai, membuat rantai uang non faktual (Non Factual Money) semakin panjang, belum lagi ditambah rantai spekulan produk, seperti commodity futures market (pasar komoditi berjangka) baik dalam skala besar maupun hingga pada rantai terendah distribusi (spekulan “ketengan”), membuat harga suatu komoditi, seperti halnya minyak, elektronik, dan lain-lainnya bergerak jauh melampaui nilai yang sesungguhnya.

Dalam poduksi kapitalisme, harga sudah tidak lagi ditentukan oleh nilai dari suatu komoditi—yang sebenarnya ditentukan dari jumlah tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi komoditi tersebut—ia sudah jauh melebihi itu, meskipun kemajuan teknologi adalah syarat utama harga/nilai suatu komoditi itu menjadi rendah, akan tetapi, kepemilikan alat produksi dan jalur distribusi yang dimiliki oleh kapitalis, yang juga fragmentatif, membuat harga suatu komoditi bisa berlipat-lipat ganda, dari harga dasarnya, dan selanjutnya membuat mayoritas konsumen (buruh dan tani) terasing dari hasil produksi mereka sendiri.

Sejak krisis keuangan global, negeri-negeri kapitalis seperti Eropa, terutama Jepang dan Amerika mengalami kemandegan ekonomi yang akut. Di Amerika, pada tahun 2008 lalu, beberapa bank, lembaga financial (seperti Fannie Mae, Freddy Mac, dan Lehman Brothers, Bear Stearns), lembaga asuransi (seperti AIG) mengalami kebangkrutan dan terpaksa harus di Bailout dan di akuisisi oleh pemerintah AS—yang dananya berasal dari anggaran pemerintah, yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteran sosial, begitu pula industri-industri elektronik, perumahan dan otomotif, yang faktor utamanya adalah harga produk elektronik dan otomotif tersebut sudah terlalu tinggi, sedangkan serapan pasar di negeri mereka sendiri terbatas—apalagi dengan jumlah orang miskin di Amerika pada tahun 2008 sebesar 39,8 juta dan, pada tahun 2009, angka tersebut semakin meningkat, terlebih karena jumlah pengangguran meningkat menjadi 9%—apalagi di negeri-negeri berkembang perbedaan kurs yang cukup tajam dengan US Dollar, Euro, Yen, membuat jumlah jangkauan terhadap produk-produk tersebut hanya akan bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang-orang kaya di negeri-negeri berkembang (contoh: jumlah orang kaya di Indonesia sekitar 23.000 orang dari 250 juta penduduk indonesia).

Krisis di negeri-negeri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika akan semakin besar, yang faktor lainnya disebabkan karena serapan daya beli kelas menengah di Eropa, Amerika, dan daya beli kelas bawah negeri-negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina, bahkan Afrika mulai dikuasai oleh China dan India. China memainkan peranan penting dalam pasar bebas sejak kesanggupannya untuk melakukan alih teknologi dari perusahaan-perusahaan asing yang melakukan rellocation plan, dan kemudian melakukan peniruan terhadap produk dan teknologi dari Eropa dan Amerika, pajak ekspornya yang diturunkan, dan insentif pemerintahnya terhadap beberapa produk penting seperti elektronik, tekstil dan otomotif. Pemerintah China juga membelanjakan 10 miliar yuan (1,5 miliar dollar AS) untuk membangun teknologi pabrik mobil terbaru dan mengembangkan kendaraan dengan energi alternatif.

Dengan produk-produk yang jauh lebih murah ketimbang produk sejenis yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan Eropa, Jepang dan Amerika, produk China mulai dan telah membajiri negeri-negeri industrialis tersebut. Pada akhir 2009 lalu, produksi otomotif China melampaui produksi otomotif Amerika Serikat sekitar 13,6 juta unit, dengan peningkatan penjualan hingga 92% dari tahun sebelumnya menjadi 1, 41 juta unit dan nilai ekspor mencapai 1, 2 Triliun dollar AS, melebihi negeri industrial seperti Jerman yang hanya 1,17 Triliun dollar AS, meskipun ekspor barang China bukan merupakan barang-barang canggih berteknologi tinggi seperti barang ekspor dari Jerman. Dari salah satu produk tersebut, China telah berhasil merebut pasar-pasar di Asia, Eropa, Amerika bahkan Afrika dengan memanfaatkan perbedaan harga yang cukup signifikan dengan produk Jerman, Amerika dan juga karena produk mobilnya lebih kecil dan dengan penggunaan energi alternatif.

Pertumbuhan ekonomi China dan India yang tinggi, di satu sisi memberikan kontribusi besar terhadap penumpukan produk di negeri-negeri berkembang termasuk Indonesia, di sisi lain memberikan pengaruh besar terhadap anjloknya pertumbuhan industri manufaktur di negeri-negeri maju seperti Eropa, Amerika, Jepang, bahkan negeri sekelas Taiwan dan Korea Selatan yang juga menjual produk-produknya di negeri berkembang. Dalam hal ini, Indonesia, yang memiliki jumlah serapan daya beli yang lumayan (sekadar berangkat dari jumlah penduduk tanpa melihat jumlah kemiskinan yang meningkat—World Bank menyebutkan bahwa lebih dari separo dari 240 juta penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dar US $2 per hari dan sekitar 40 juta penduduk menganggur), sumber daya alam yang tinggi, dan jumlah tenaga kerja yang besar). Dan, agar menguntungkan bagi kapitalisme internasional, maka segala hambatan-hambatan keuntungan dari penghisapan terhadap proletariat harus diminimalisir, tentu saja melalui produk legislasi nasional (Prolegnas). Tidak cukup hanya memangkas hambatan penghisapan terhadap buruh saja, kapitalisme internasional membutuhkan keleluasaan lebih, misalnya berbagai produk-produk yang masih ada hambatan tariff harus segera dipangkas hingga 0% guna memudahkan produk-produk luar negeri masuk dengan mudah dan tidak menambah kerugian dengan adanya pajak bea masuk. Hal tersebut tentu diamini oleh rezim boneka Imperialis, SBY-Boediono, selayaknya pula rumus yang sama yang dilakukan oleh rezim-rezim agen penjajah sebelumnya.

Lihat saja, ketika saat awal negeri-negeri Imperialis dilanda krisis, Eropa, Jepang, Amerika, memotong Suku Bunganya bahkan hingga hampir 0.3% - 2.5%, bahkan China menurunkan suku bunganya hingga 108 poin atau 5.58%, pemerintah Indonesia justru meningkatkan suku bunga banknya di awal krisis hingga 8,5%, dan kini bertengger di posisi 6,5%, jauh dari negara berkembang lainnya seperti Malaysia, 3,25%, dan Thailand, 2,75%. Ini merupakan cerminan dari rendahnya kapasitas modal pemerintah yang benar-benar mengandalkan pinjaman luar negeri dari Surat Obligasi Negara (SUN) dan, apabila dilihat dari komposisinya, besaran pembelian 67% berasal dari asing, dan untuk Hot Money dalam obligasi negara sekitar 10 Miliar dollar AS, sedangkan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mencapai USD 4,82 miliar atau setara Rp 46 triliun. Situasi tersebut akan memicu gelembung modal (Financial Bubble), yang sewaktu-waktu bisa meledak karena besarnya arus Hot Money yang lari. Cepat atau lambat, hal yang dikhawatirkan ini akan terjadi, gairah investasi modal jangka pendek melalui Foreign Fortopolio investment yang ditawarkan oleh SUN, Sertifikat Bank Indonesia ataupun perusahaan nasional serta perusahaan swasta ditentukan dari stabilitas keuangan dalam negeri, suku bunga yang besar, dan pertumbuhan sektor riil di dalam negeri.

Negeri-negeri berkembang, termasuk Indonesia, menjadi salah satu jawaban krisis kapitalisme di negeri-negeri maju, yang mandeg pertumbuhan ekonominya. Oleh karena itu, kapitalisme internasional berkepentingan sekali terhadap stabilitas ekonomi politik di Indonesia. Agar tidak ada gonjang-ganjing (volatilitas) akibat dari larinya modal jangka pendek, bukan suatu hal yang mengherankan apabila negara-negara Imperialis dan Lembaga-lembaga keuangan Internasional menggelontorkan pinjaman Multilateral dan Bilateral terhadap Indonesia dalam skala yang menakjubkan, agar ada stabilitas neraca keuangan; hingga akhir November 2009, Cadangan Devisa Pemerintah, menurut Bank Indonesia, mencapai US$ 66 miliar dan, pada Maret, 2009, utang Indonesia meningkat 31% (sekitar Rp. 1.667 Triliun), dan terbesar dalam sejarah utang negeri ini. Pemerintah Indonesia mendapatkan pinjaman sebesar US$ 5,5 miliar, yang terdiri dari Bank Dunia, yang memberikan pinjaman US$ 2 miliar melalui deferred drawdown option (penarikan sewaktu-waktu), kemudian Jepang US$ 1,5 miliar, Australia US$ 1 miliar, dan ADB US$ 1 miliar. Pinjaman tersebut, memang berpengaruh terhadap menguatnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan neraca keuangan, tetapi situasi tersebut hanyalah sementara dan tidak cukup signifikan perubahannya. Tingkat suku bunga yang masih tinggi dibandingkan dengan negeri lainnya, memang membuat modal asing masuk, tetapi bukanlah Foreign Direct Investment yang implikasinya memberikan manfaat pada sektor riil.

Pemerintah, yang mengandalkan Hot Money sebagai pemacu cadangan devisa negara, dan berharap FPI berubah menjadi FDI, merupakan harapan bodoh dalam kebijakan keuangan. Terlebih-lebih, jumlahnya yang timpang dengan jumlah FPI. FDI kapanpun bisa keluar secara tiba-tiba. Salah satu faktor ke depannya, yang dapat memicu ketidakstabilan neraca keuangan, adalah jadwal pembayaran utang luar negeri di tahun 2010 yang sebesar Rp. 116 Triliun, yang terdiri dari 54 triliun berasal dari utang luar negeri, dan Rp 62 triliun berasal dari Surat Berharga Negara. Tidak hanya itu, dijalankannya AANZFTA (Asean-Australia-New Zealand Free Trade Agreement) dan juga ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement), yang menghapuskan ribuan pos-pos tarif barang dan jasa, akan berimplikasi terhadap kehancuran sektor riil di Indonesia, dan tentu saja pengaruhnya terhadap cadangan devisa dan kestabilan pasar saham yang menjadi andalan ekonomi pemerintah SBy-Boediono.

Sementara itu kapitalisme Internasional menggelontorkan dana secara besar-besaran untuk menyelamatkan perekonomian mereka dan juga negeri-negeri di Asia—sebagaimana hasil pertemuan G-20—yakni sebesar 1.5 Triliun dollar US, yang akan digunakan untuk memberikan stimulus berupa dana talangan (Bail Out ataupun Buy Back) terhadap perusahaan mereka yang bangkrut dan suntikan dana segar terhadap negeri-negeri berkembang agar dapat cepat pulih serta bisa segera mendorong pembelian produk-produk Amerika, Jepang, Eropa yang mandeg di pasaran internasional.

Di satu pihak, proyek Sosialisme untuk orang kaya (Socialism for the Rich) dilakukan oleh pemerintah Amerika (Bank Of America, AIG, dan lain-lainnya), Eropa, dan juga Indonesia (dalam kasus Century)—yang, uangnya, berasal dari anggaran negara. Di pihak lain, rakyat miskin di negeri-negeri berkembang yang pro-ekonomi pasar, khususnya di Indonesia, harus bersiap-siap untuk jatuh lebih dalam pada jurang kemiskinan. Pasalnya, di Indonesia saja, General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan General Agreement on Trade in Service (GATS) di World Trade Organization (WTO), ditambah regional agreement semacam AANZ-FTA dan AC-FTA, akan berpengaruh besar terhadap berbagai sektor perekonomian dan jasa. Sebagai contoh, perjanjian perdagangan bebas dengan Australia dan New Zealand yang juga di setujui oleh pemerintah Indonesia, akan berdampak besar terhadap produk daging, susu lokal. Produk Daging dan Susu Australia serta New Zealand masuk tanpa dikenai biaya (0%), dan sudah pasti, baik kalangan kelas atas dan kelas menengah ke bawah, akan lebih memilih membeli daging dan susu import. Produk mereka jauh lebih murah dan bermutu, terlebih pemerintah Australia memberikan subsidi 2$ per liternya untuk produk susu mereka, dan daging sapi yang diberi subsidi 60% dari harga ekspornya. Lain halnya dengan peternak Indonesia yang sudah tidak lagi mendapatkan subsidi dan insentif dalam produksi mereka, akibatnya jelas, kehancuran pada sektor pertenakan yang menyumbang 2.57 Juta jiwa, yang bekerja di sektor tersebut, tinggal menunggu waktu saja, dan tambahan jumlah pengangguran dari sektor tersebut merupakan sekadar tambahan deret ukur kemiskinan.

Tambahan deret ukur kemiskinan untuk negeri ini, bisa dilihat dari sektor penting lainnya, seperti pertanian, jasa, dan perdagangan manufaktur. Liberalisasi pertanian, selain membuat pertanian lokal gulung tikar, bahkan pada akhirnya lahan pertanian akan beralih fungsi—sebab produksi pertanian dianggap tidak lagi memberikan keuntungan. Penyebabnya jelas, secara internal produk lokal kalah bermutu dan harganya lebih mahal. Lahan pertanian yang kecil, sistem pertanian yang tradisional, teknologi pertanian yang rendah, jalur distribusi yang terhambat dan fragmentatif, serta hilangnya subsidi dan insentif dari pemerintah, membuat produk pertanian lokal tak dapat bersaing dengan produk pertanian dari negeri-negeri Industrialis yang masih diberikan subsidi oleh pemerintahannya—kurang lebih sebesar 300 Miliar dollar US—apalagi dijalankan secara profesional dan dengan teknologi yang jauh lebih modern.

Dari sektor pertanian sudah jelas akan semakin banyak urbanisasi ke perkotaan, yang menambah daftar panjang persoalan akibat kemiskinan di kota, dan semakin banyak pula jumlah TKI atau bahkan korban-korban dari Trafficking (Perdagangan Perempuan dan Anak). Pembiaran oleh rezim agen penjajahan asing di negerinya sudah pasti menempatkan mereka juga sebagai Traffickers.

Sekarang, mari kita lihat sektor manufaktur, yang melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan China (dan dituangkan dalam AC-FTA) yang, tentu saja, akan paling berdampak besar terhadap PHK massal buruh-buruh di negeri ini. Perjanjian perdagangan bebas dengan China, yang sudah ditanda tangani sejak masa pemerintahan Megawati di tahun 2001 hingga hari ini, total telah membebaskan sekitar 54.457 pos-pos tariff. Industri manufaktur lokal yang akan hancur sedikitnya di sekitar Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), produk makanan dan minuman, peralatan pertanian, fibersintetik, permesinan, besi dan baja, komponen otomotif, industri alas kaki, elektronik, petro kimia, mesin peralatan listrik, dan akan menyumbang sekitar10 Juta PHK massal hingga program ini dijalankan sepenuhnya pada 2012. Faktornya jelas, produk-produk dalam negeri tak mampu menyaingi produk China yang berhasil melakukan alih teknologi dan peniruan, apalagi insentif pemerintahnya cukup tinggi. Tidak hanya itu, setelah dijalankannya liberalisasi Industri Enerji, biaya produksi akan meningkat akibat dari pemecah-pecahan (unbundling) struktur industri energi dari hulu hingga ke hilir, yang akan berakibat meningkatnya biaya produksi dari meningkatnya harga energi (minyak, gas dan listrik) sekitar 200-400%. Akibatnya, sudah pasti harga produk lokal akan meningkat dan tidak akan sanggup bersaing dengan produk luar, terutama China dan India.

Selain daripada itu, hal yang paling fundamental adalah bagaimana karakter pemerintahan negeri ini: merupakan Makelar/Calo/Komprador—yang menunjukkan sesat pikirnya kebijakan ekonomi-politik yang tidak mengembangkan Fundamental Ekonomi negeri ini. Dari data yang ada, hingga hari ini, tercatat 92% teknologi industri diimpor dari negeri-negeri industrialis seperti Jepang (37%), Amerika (9%), Eropa (27%), dan bahkan China (4%). Anggaran untuk mengembangkan syarat-syarat kemajuan teknologi dan sumber daya manusia saja rendah, misalnya, anggaran pendidikan hanya 20%—dan itupun lebih banyak digunakan untuk biaya aparatus negara, bukan biaya infrastruktur dan pelaksanaan pendidikan—selain itu, biaya riset dan iptek hanya Rp. 2.5 Triliun. Belum lagi pengaruh dari General Agreement on Trade in Services (GATS), yang salah satu produknya adalah UU BHP, yang meliberalisasikan pendidikan, membuat masyarakat kelas menengah ke bawah tidak sanggup mengembangkan pengetahuannya—data menunjukkan Jumlah penduduk usia pendidikan tinggi (19 – 24 tahun) sebanyak 24.738.600 baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%). Jadi, tidak ada syarat menggunakan, mengolah, dan mengembangkan teknologi maju, modern, yang diimpor dari negeri-negeri imperialis itu. Singkat kata, neoliberalisme sudah jelas tidak memajukan tenaga produktif bangsa ini.
Rezim SBY-Boediono benar-benar mengandalkan Investasi asing sebagai “Jurus Utama” perbaikan ekonominya, benar-benar karakter rezim dari negeri yang rendah tenaga produktifnya. Padahal, sudah terlihat dari perkembangan pasar saham, bahwa investasi terbesar berasal dari Foreign Portofolio Investment (FPI) bukan dari Foreign Direct Investment (FDI). Begitu pula dalam kasus perdagangan antara Indonesia dan China, rejim komprador ini berharap China melakukan Relocation Plan sehingga bisa memacu pertumbuhan ekonomi dengan pembukaan lapangan kerja baru. Tapi harapan tersebut sungguh naif, China dengan jumlah penduduk 1. 3 Milyar tidak akan serta-merta melakukan relokasi bahkan akan sulit melakukannya. Relokasi perusahaan-perusahaan China akan mengakibatkan peningkatan pengangguran di China, dan tentu implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik di negeri itu. Selain itu, efesiensi dari biaya produksi (terutama upah tenaga kerja) dan ketersediaan sarana dan prasarana produksi lebih baik di China. Perbedaan kurs yang tidak terlalu timpang, kebebasan tarif, memberikan keuntungan bagi perusahaan China untuk mendapatkan pembeli bagi produk-produk mereka.

Ternyata tidak cukup disitu, neoliberalisme butuh diperdalam dan diperluas lagi, agar kemandegan pertumbuhan ekonomi (baca: Overproduksi) di Amerika, Eropa, Jepang bisa segera diatasi, dan ekonomi kapitalis bisa berputar kembali seperti sedia kala. Pemerintah SBY-Boediono, sebagai agen mereka, harus segera bergerak, sesuai dengan skenario ekonomi-politik korporasi internasional, oleh karena itu, National Summit yang menjiplak pertemuan serupa di Amerika diselenggarakan. Seolah-olah menyerap aspirasi tetapi sesungguhnya hanyalah ajang sosialisasi proyek untuk memperdalam neoliberalisme dinegeri ini yang di motori oleh Kamar Dagang Indonesia (KADIN). National Summit menghasilkan road map ekonomi Indonesia, yang ke depannya pokok-pokok di dalamnya akan masuk kedalam program legislasi nasional (PROLEGNAS), yang tujuannya adalah liberalisasi lahan untuk mempermudah investasi asing melalui Bank Land (Bank Tanah) dan, akibat kedepannya, perampasan tanah-tanah rakyat mendapatkan legalisasi hukumnya. Selain itu, harus dipastikan berjalannya liberalisasi infrastuktur industri, baik itu enerji dan transportasi. Berbagai hambatan-hambatan harus segera dihilangkan demi keleluasaan penghisapan korporasi internasional, apakah itu peringanan pajak bagi pengadaan enerji, perbaikan skema kerjasama pendanaan pemerintah dan swasta, maupun stabilitas terhadap ketenagakerjaan (mengamankan gejolah perburuhan). Kapitalisme sungguh kontradiktif: persoalannya adalah rendahnya daya beli (Under consumption), tapi konsumen terbesar, yakni kaum buruh dan rakyat kelas bawah tidak ada peningkatan pendapatannya. Hal itu ditunjukkan dengan beberapa opsi-opsi: memperluas outsourcing, buruh yang di PHK tidak akan mendapatkan pesangon, serta upah buruh akan ditetapkan melalui mekanisme Bipartit—sehingga akibatnya upah akan disesuaikan dengan kemampauan perusahaan dalam menggaji, tidak lagi berdasarkan standar upah minimum regional.

Kesimpulan:

Ke depan, pemerintahan SBY-Boediono akan menyelesaikan secara cepat produk-produk hukum (UU, Perpu, dan lain sebagainya) yang akan mempermudah korporasi internasional untuk memperdalam dan memperluas: penghisapannya terhadap sumber daya alam, pasarnya, dan penghisapannya terhadap tenaga kerja negeri ini. Tapi, itu semua tidak akan menjawab problem mendasar krisis kapitalisme underconsumption (rendahnya daya beli) yang diakibatkan semakin tingginya harga komoditi melampaui nilai sesungguhnya dari komoditi tersebut. Hakikatnya, “Obatnya” sama, hanya “Dosis” saja yang dipertinggi, tetapi substansinya tidak berubah: “obat” tersebut tidak bisa mengobati akar persoalan kapitalisme justru, yang terjadi, eksploitasi alam dilanjutkan hingga habis, perluasan pasar diperluas hingga hancur industri nasional, dan semuanya akan berakhir dengan kemiskinan yang semakin meluas dan dalam dan, itu artinya, ekonomi komoditi kapitalis menghancurkan rantai kehidupannya sendiri: daya beli regular konsumen. Jadi, perluasan penghisapan neoliberalisme, hakikatnya, tidak lain adalah mengeksploitasi kekayaan di suatu negeri ke kantong-kantong korporasi, membaginya secuil kepada mayoritas konsumen (rakyat miskin dunia), kemudian menawarkan produk-produk mereka sendiri dengan harga yang tak mungkin dijangkau. Kapital, Kapitalisme, adalah ekonomi kontradiktif yang tak sulit berakhir jika tidak di HANCURKAN dengan segera.
Politik, Gerakan dan Kesadaran Rakyat

Hal yang positif, yang tidak akan pernah dinilai sebagai aspek kemajuan oleh kelompok gerakan yang terkooptasi dan pro-pemilu adalah adanya ketidakpercayaan terhadap elit-elit politik yang prosentasenya masih cukup besar. Jika dilihat dari perbandingan golput pada Pemilu tahun 2004 sebesar 22.9% dari jumlah pemilih 147,216,531, pada tahun 2009 prosentase golput untuk pemilu legislatif sebesar 39,21% dari jumlah pemilih sebanyak 121,588,366, dengan jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 171,265,442. Kemudian, dalam pemilu presiden 2009, prosentase golput sebesar 27,88% dari jumlah pemilih sebanyak 127,983,655, dengan jumlah DPT sebesar 176,411,434 ditambah dengan keputusan MK yang memperbolehkan untuk ikut memilih hanya dengan KTP dan Paspor sehingga ada pertambahan jumlah daftar pemilih yang cukup besar. Dari DPT KPU saja terdapat penambahan sekitar 49, 677,076 pemilih. Kalau diperbandingkan pada pemilu legislatif 2009 dengan pemilu presiden 2009 ada penurunan prosentase golput 11,33% atau sekitar 18,839,194. Jumlah golput pada pemilu presiden (27,88%) bisa saja secara pragmatis dianggap menurun apabila kita menutup mata pada kenyataan besarnya kecurangan pemilu melalui daftar pemilih ganda. Tercatat, dari beberapa gugatan, diindikasikan DPT ganda berkisar 7–25 Juta suara. Apabila diambil margin terendah maka prosentase golput kurang lebih 31%. Tanpa penambahan prosentase golput dari persoalan DPT ganda, sesungguhnya tingkat goput pada pemilu 2009 sudah tinggi, pada tahun 2004 saja prosentase golput sebesar 22.9%.

Dari perbandingan prosentase golongan putih pada pemilu 2004 dengan 2009, tak dapat dipungkiri lagi, ada penurunan tingkat kepercayaan rakyat terhadap elit, yang coba dinafikkan oleh kelompok-kelompok parlementaris. Bahkan, meski sudah diilusi dengan janji-janji semu dan propaganda sok populis (seperti yang dilakukan oleh PDIP, Hanura, Gerindra, dan lainnya) grafik golput justru tidak menurun tapi justru malah meningkat dari pemilu 2004 ke pemilu 2009. Peningkatan golput ini memang tidak serta-merta menjadi suatu kekuatan politik, tapi yang harus dinilai positif ada perubahan kesadaran rakyat dari percaya menjadi tidak percaya pada elit-elit politik dan yang semakin meyakini, bahwa, persoalan-persoalan kongkret yang mereka hadapi sehari-hari tidak akan sanggup dicari jalan keluarnya oleh partai-partai maupun calon presiden dan calon wakil presiden yang ada. Perubahan kesadaran rakyat ini harus dijadikan basis untuk terus didorong maju oleh gerakan agar bermuara pada keyakinan untuk mempercayai kekuatannya sendiri, meyakini metode politiknya sendiri, meyakini sekutu-sekutu perjuangannya, dan meyakini jalan keluarnya, bukan sebaliknya, memundurkan perkembangan maju kesadaran rakyat dengan membenar-benarkan partai-partai borjuasi dan tokoh-tokohnya dengan bersekutu bersama mereka atau turut mengkampanyekan salah satu calon presiden-wakil presiden denan melabelisasi mereka sebagai borjuis progresif; kerakyatan; nasionalis; atau bahkan anti imperialis/neoliberalis, padahal tak ada sama sekali rekam sejarahnya partai-partai borjuis tersebut ataupun capres/cawapres yang ada terlibat dalam mobilisasi rakyat untuk menolak semua dampak-dampak dari kebijakan neoliberalisme, seperti kenaikan BBM, privatisasi kampus, liberalisasi beras, listrik mahal, penggusuran, dan lain sebagainya.

Paska pemilu 2009 lalu, ekspresi politik spontan menunjukkan ada ketidakadilan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, yakni dalam kasus Cicak vs Buaya, Century dan Prita. Dari kasus-kasus tersebut, seluruhnya memberikan ekspresi rakyat dalam hal ketidakpercayaan terhadap negara tapi, yang paling bersih dan menumbuhkan struktur gerakan populis dalam kategori spontan, adalah kasus Prita Mulya Sari. Aspek positif yang terlihat dari kasus Prita adalah respon massa dalam membangun strtukturnya sendiri untuk mengumpulkan koin.

Apa yang dapat disimpulkan dari kasus Korupsi, Prita maupun nenek yang dihukum karena mencuri 3 kilo buah Kakao? Ada kesadaran yang mulai tumbuh tentang ketidakadilan yang memicu kebencian terhadap negara dan pemerintah walau baru dalam batasan populisme, belum melihat keseluruhan persoalan terkait sama lain yang akarnya adalah Kapitalisme (Ekonominya, Hukumnya, ataupun Superstrukturnya). Kesadaran tersebut merupakan akumulasi yang lahir dengan berbagai ekspresi-ekspresi spontan akan tetapi belum menjadi bagian struktur gerakan, bahkan, panggungnya tak sanggup diambil alih sepenuhnya oleh elit-elit politik. Seperti halnya dalam kasus Bibit-Chandra, eskpresi politik spontan yang luas tidak sanggup memberikan keuntungan yang besar bagi Elit-Elit politik DPR, walaupun dalam kasus tersebut memberikan keuntungan besar bagi citra politik Bibit-Chandra. Tidak hanya disitu, reformis-feormis gadungan yang lain seperti Fajrulrahman, Efendi Ghazali, Din Syamsudin tak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan opening politik tersebut untuk menggantikan kekuasaan. Singkat kata, elit politik yang ada hanya melakukan bargaining position, tak memiliki perspektif dan kapasitas untuk menggantikan kekuasaan korup dan antek neoliberal.

Mari kita tarik mundur dari masa pemilu 2009. Sama sekali tak ada pembelajaran politik yang bisa jadi landasan berpolitik rakyat dari kampanye dan persatuan (koalisi) partai-partai borjuasi di negeri ini, kampanyenya miskin propaganda (isian yang menjelaskan akar persoalan dan jalan keluarnya), semuanya janji omong-kosong dengan pemanis musik-musik. Begitu pula dalam persatuan mereka, konsep persatuan bukan dilandaskan pada platform yang basisnya adalah persamaan arah ideologi, tapi soal besar kecil jumlah suara yang akan diraih pada pemilu putaran presiden hingga kekuasaan di pemerintahan dan DPR. Jadi jelas, terkait dengan berbagai produk-produk perundangan yang pro-penjajahan asing, suara satu nada akan lebih sering terdengar.

Bargain-argain politik baik dari partai-partai yang masuk dalam koalisi maupun di luar koalisi seperti PDIP, Gerindra ataupun Hanura akan terlihat tetapi hanya kecil-kecilan saja, yang tujuannya meningkatkan popularitas politik, ataupun Power Sharring. Jadi, dalam bahasa lain, hanya oposisi-oposisian saja, dengan keberanian beroposisinya tergantung sejauh mobilisasi politik gerakan melakukan serangan sebesar-besarnya kepada SBY-Boediono. Tapi, hal itupun bukan hal mudah bagi partai-partai “Oposisi” tersebut untuk menunggangi momentumnya, karena hubungan politiknya terhadap gerakan semakin lama semakin terputus, sehingga menyulitkan mobilisasi politik ditujukan bagi popularitas politik mereka.

Konfigurasi politik ditingkat elit menyebabkan rejim SBY-Boediono menjalankan secara cepat proyek-proyek mereka. Jauh sebelum berakhirnya kekuasaan SBY-Kalla, berbagai Undang-Undang yang memperdalam dan melancarkan program-program neoliberalisme telah disahkan secara cepat untuk mengejar target “obat” krisis Kapitalisme Global di negeri ini dan memperluas lapangan pencaplokan akumulasi kapitalis untuk di bawa ke kantong-kantong korporasi internasional. Undang-undang tersebut, antara lain: UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU HP3, UU Kehutanan, UU Pajak, UU Kawasan Ekonomi Khusus, Perpu Pembebasan Lahan, UU BHP. Bahkan DPR periode 2004-2009 telah mengesahkan privatisasi 30 perusahaan negara (sebagian belum terealisasi), dan yang paling siap melakukan initial public offering tahun ini adalah PT Bank Tabungan Negara dan PT Pembangunan Perumahan.

Tak jauh berbeda dalam soal demokrasi, pembatasan ruang-ruang demokrasi (kebebasan ekspresi, kontrol dan partisipasi) akan semakin jelas arahnya, menyempit! Berbagai rancangan UU yang membahayakan demokrasi, yang menunggu peraturan perundang-undangannya, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Penyiaran, RUU Pers, RUU Intelejen Negara, UU Pornografi akan segera disahkan untuk membungkam kebebasan ekspresi, kebebasan informasi, kebebasan berpendapat dan berorgansiasi. Belum seratus hari saja pemerintahan SBY-Boediono, melalui Kejaksaan Agung sudah melakukan pelarangan terhadap 5 buku (Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (karya ilmiah John Roosa), Suara Gereja bagi Umat, Penderitaan Tetesan Darah, Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat (karya Socrates Sofyan Yoman), Lekra Tak Membakar Buku. Suara Senyap-Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan), Enam Jalan Menuju Tuhan (karya Darmawan), dan Mengungkap Misteri Keragaman Beragama (karya Syahruddin Ahmad) yang merupakan hasil penelitian mendalam.

Lalu, dengan fakta-fakta di atas, apakah rezim SBY-Boediono sama dengan ORBA? Kesimpulan seperti itu adalah pragmatis dan simplistis. Orde Baru dibangun dengan pilar-pilar yang menghambat ruang demokrasi (Dwifungsi ABRI, 5 Paket UU Politik, NKK-BKK, dan lain sebagainya) dan monopoli ekonomi yang menguntungkan Soeharto dan Kroni-Kroninya. Akan tetapi, sistem kapitalisme ala orde baru tak lagi menguntungkan bagi kapitalisme internasional. Hambatan-hambatan harus segera dihapuskan. Kapitalisme butuh pasar yang luas, bagi komoditi mereka yang menumpuk di negeri-negeri asalnya. Oleh karenanya, liberalisme sangat dibutuhkan, segala turunannya yang menjadi penopang: informasi, pengetahuan, dibutuhkan guna memudahkan penyaluran komoditi dan penghisapan. Apa yang terjadi dengan pembredelan buku dan lainnya adalah produk hukum dan politik masa Orde Baru yang tak mungkin dituntaskan oleh rezim SBY-Boediono ataupun reformis-reformis gadungan tersebut. Tentu akan ada penyempitan ruang demokrasi, demi stabilitas politik dan ekonomi, tetapi dalam batas-batas yang tidak merugikan hal yang pokok bagi korporasi internasional: Liberalisasi Ekonomi, yang tak bisa dipadankan dengan masa Orde Baru.

Kebutuhan Mendesak: Persatuan Gerakan Mandiri.

Dari pemaparan di atas, semakin jelas kebutuhan persatuan gerakan mandiri yang bisa mengusung program politik yang kongkret dan menjadi jalan keluar mendesak rakyat. Elit-elit politik tak sanggup mengkooptasi momentum-momentum politik sehingga berbalik menguntungkan mereka, meski upanya dilakukan dengan mulai menghadiri beberapa kali aksi korupsi. Tetapi masih saja sulit. Hal ini tidak terlepas dari semakin besarnya ketidakpercayaan rakyat terhadap elit-elit politik busuk.

Secara obyektif potensinya besar untuk bisa bermuara pada mobilisasi politik yang luas dan politis, akan tetapi hambatan-hambatan di dalam gerakan masih sulit untuk mewujudkan kebutuhan obyektif tersebut. Fragmentasi dan berserakannya gerakan semakin luas, persatuan yang sebelumnya terbangun di FPN, ABM, KRB yang menerima politik Non Kooptasi – Non Kooperasi, dengan di cirikan oleh program politiknya yang menyerang seluruh elit politik dan tindakan politiknya, macet ditengah jalan. Penyebabnya, tentu saja, tak adanya keyakinan atas bersatunya kekuatan pelopor yang terorgansisasikan dengan baik dapat memimpin perjuangan politik massa.

Belum lagi, fragmentasi-fragmentasi persatuan lainnya yang bergerak dalam isu-isu ekonomis, korupsi saja yang banyak di antaranya di isi oleh unsur-unsur terkooptasi (Misalnya PAPERNAS cs, REPDEM, dan lain sebagainya)—bahkan elit politiknya—yang sebelumnya mendukung pemilu elit, tanpa pengakuan bersalah terhadap tindakan politik sebelumnya. Walaupun ada contoh positif dari aksi 36 serikat buruh di Jakarta yang mengkampanyekan ketidakpercayaan terhadap elit-elit serikat buruh mereka. Hal itu merupakan perkembangan maju, walaupun masih jauh dalam pengertian sebenarnya, yakni membangun politik kemandirian rakyat, atau percaya pada kekuatan rakyat sendiri untuk membangun kekuasaannya.

Dalam situasi tersebut, gerakan yang mendasarkan dirinya pada politik kemandirian, harus mengisi setiap fragmen-fragmen yang ada, memberikan perspektif politik yang maju, menghancurkan hegemoni politik borjuasi yang bisa dengan mudah memanipulasi kesadaran rakyat, dan menyatukannya dalam mobilisasi politik sehingga ada syarat-syarat perluasan propaganda tercapai. Dan pada akhirnya, alat politik persatuan gerakan yang mandiri—yang meyakini bahwa perjuangan pembebasan nasional hanya bisa diletakkan pada kekuatan gerakan dan rakyat—harus terbangun dan dapat meluas serta mengalahkan hegemoni dan dominasi politik rezim agen penjajah beserta elit-elit politik busuknya. Sekian.
*Penulis adalah Kader Komite Politik Rakyat Miskin Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD) dan Juru Bicara Nasional LMND PRM

BACA ARSIP DI BLOG INI

Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia

"GABUNGAN SOLIDARITAS PERJUANGAN BURUH, BEKASI"
" FORUM BURUH LINTAS PABRIK, JAKARTA "
"FNPBI-PRM MEDAN"
" SBBSU SUMATERA UTARA "
"FNPBI-PRM SURABAYA"
"FNPBI INDEPENDEN MOJOKERTO"
"SERIKAT BURUH GARUDA, SUMEDANG"
"FNPBI-PRM SAMARINDA"
"FNPBI-PRM BALIKPAPAN"
" FORUM SOLIDARITAS PERJUANGAN BURUH, BANDUNG "

KPRM-PRD

G S P B