National Summit 2009:
Cara Si Pelayan Modal Melapangkan Jalan bagi Sang Tuan Penjajah
oleh : Ata Bin Udi--Kader KPRM-PRD dan Koordinator Divisi Penyatuan Organisasi Komite Persiapan- Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI)--
Cara Si Pelayan Modal Melapangkan Jalan bagi Sang Tuan Penjajah
oleh : Ata Bin Udi--Kader KPRM-PRD dan Koordinator Divisi Penyatuan Organisasi Komite Persiapan- Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI)--
Menyingkirkan Rakyat
Pada tanggal 29-31 Oktober, 2009, berlangsung sebuah ajang konsolidasi sekaligus panggung politik (kampanye pencitraan) dari rezim SBY–Boediono, yang juga melibatkan para pengusaha, para kepala daerah, anggota DPR, kaum intelektual dan akademisi dalam memastikan berjalannya program ekonomi rezim SBY–Boediono selama periode efektif 2010-2014, yang dikenal sebagi forum National Summit (Pertemuan Tingkat Tinggi Nasional). Dari forum tersebut terlihat jelas, demi mencapai apa yang sudah ditargetkan untuk periode ke-2 pemerintahan SBY, segala kebutuhan infra sturktur yang diperlukan harus terjamin, sehingga mulai dari level peraturan (supra struktur), baik yang sudah maupun yang belum ada, akan disesuaikan dan atau akan dibuat sebagai alat legitimasi (pembenaran) untuk menyingkirkan segala hambatan yang akan jadi topangan demi berjalan mulusnya progarm pembanguan ekonomi veri rezim SBY-Boediono. Salah satu contohnya adalah rekomendasi National Summit 2009 dibidang ketenagakerjaan yang akan mendorong revisi atas Undang–Undang Ketenagakerjaan sebagai rekomendasi bidang hukum serta revisi dalam aturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial (UU No. 2 tahun 2004/PPHI) dan Undang– Undang JAMSOSTEK (rekomendasi di bidang kesra). Itu semua dilakukan dalam rangka menghilangkan hambatan atau yang sering diistilahkan—baik oleh media maupun pernyataan para pejabat—sebagai “debottolnecking” (mengilangkan sumbatan/hambatan). Pertanyaannnya, apa yang dimaksud dengan hambatan tersebut? Atau lebih konkrit lagi, apa misalnya yang mengahambat dari segi Undang–Undang Ketenagakerjaan yang berlaku sekarang terhadap rencana program ekonomi pemerintahan SBY–Boediono?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, terutama bagi kaum buruh, bukan hal yang sulit. Terdapat sederatan fakta sejarah yang tak mudah hilang dari ingatan kaum buruh. Di antaranya, pada Tahun 2006, ratusan ribu kaum buruh di seluruh Indonesia turun ke jalan sebagai bentuk perlawanan atas rencana pemerintah (pada waktu itu SBY–JK) yang akan merevisi UUK 13/2003 yang, di antaranya, akan menghilangkan pesangon dan menambah lama masa kontrak. Pada saat itu, alasan dari pemerintah dan para pengusaha juga kurang lebih bernada sama dengan di National Summit, bahwa ketentuan tentang pesangon dan pembatasan masa kontrak (paling lama 2 tahun) sebagai hambatan ekonomi (investasi). Artinya, sebuah aturan yang dilihat dari posisi kaum buruh sebagai hak normatif (pesangon sebagai imbalan ketika di-PHK), dianggap sebaliknya bagi pemerintah dan kaum modal sebagai biaya (cost) yang merugikan, oleh karena itu harus dihilangkan atau setidaknya dibuat semurah-murahnya walaupun, pada saat bersamaan, berarti melucuti hak-hak dasar rakyat terutama dalam hal kesejahteraan. Biarlah jutaan buruh yang tercerabut dari pekerjaannya akibat PHK jadi semakin miskin dan tidak jelas nasibnya akibat tak punya bekal sama sekali. Biarlah dengan semurah-murahnya atau bahkan dengan tanpa uang pesangon akan semakin mudah dan berani kaum modal menyingkirkan kaum buruh dari pekerjaannya.
Pada tanggal 29-31 Oktober, 2009, berlangsung sebuah ajang konsolidasi sekaligus panggung politik (kampanye pencitraan) dari rezim SBY–Boediono, yang juga melibatkan para pengusaha, para kepala daerah, anggota DPR, kaum intelektual dan akademisi dalam memastikan berjalannya program ekonomi rezim SBY–Boediono selama periode efektif 2010-2014, yang dikenal sebagi forum National Summit (Pertemuan Tingkat Tinggi Nasional). Dari forum tersebut terlihat jelas, demi mencapai apa yang sudah ditargetkan untuk periode ke-2 pemerintahan SBY, segala kebutuhan infra sturktur yang diperlukan harus terjamin, sehingga mulai dari level peraturan (supra struktur), baik yang sudah maupun yang belum ada, akan disesuaikan dan atau akan dibuat sebagai alat legitimasi (pembenaran) untuk menyingkirkan segala hambatan yang akan jadi topangan demi berjalan mulusnya progarm pembanguan ekonomi veri rezim SBY-Boediono. Salah satu contohnya adalah rekomendasi National Summit 2009 dibidang ketenagakerjaan yang akan mendorong revisi atas Undang–Undang Ketenagakerjaan sebagai rekomendasi bidang hukum serta revisi dalam aturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial (UU No. 2 tahun 2004/PPHI) dan Undang– Undang JAMSOSTEK (rekomendasi di bidang kesra). Itu semua dilakukan dalam rangka menghilangkan hambatan atau yang sering diistilahkan—baik oleh media maupun pernyataan para pejabat—sebagai “debottolnecking” (mengilangkan sumbatan/hambatan). Pertanyaannnya, apa yang dimaksud dengan hambatan tersebut? Atau lebih konkrit lagi, apa misalnya yang mengahambat dari segi Undang–Undang Ketenagakerjaan yang berlaku sekarang terhadap rencana program ekonomi pemerintahan SBY–Boediono?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, terutama bagi kaum buruh, bukan hal yang sulit. Terdapat sederatan fakta sejarah yang tak mudah hilang dari ingatan kaum buruh. Di antaranya, pada Tahun 2006, ratusan ribu kaum buruh di seluruh Indonesia turun ke jalan sebagai bentuk perlawanan atas rencana pemerintah (pada waktu itu SBY–JK) yang akan merevisi UUK 13/2003 yang, di antaranya, akan menghilangkan pesangon dan menambah lama masa kontrak. Pada saat itu, alasan dari pemerintah dan para pengusaha juga kurang lebih bernada sama dengan di National Summit, bahwa ketentuan tentang pesangon dan pembatasan masa kontrak (paling lama 2 tahun) sebagai hambatan ekonomi (investasi). Artinya, sebuah aturan yang dilihat dari posisi kaum buruh sebagai hak normatif (pesangon sebagai imbalan ketika di-PHK), dianggap sebaliknya bagi pemerintah dan kaum modal sebagai biaya (cost) yang merugikan, oleh karena itu harus dihilangkan atau setidaknya dibuat semurah-murahnya walaupun, pada saat bersamaan, berarti melucuti hak-hak dasar rakyat terutama dalam hal kesejahteraan. Biarlah jutaan buruh yang tercerabut dari pekerjaannya akibat PHK jadi semakin miskin dan tidak jelas nasibnya akibat tak punya bekal sama sekali. Biarlah dengan semurah-murahnya atau bahkan dengan tanpa uang pesangon akan semakin mudah dan berani kaum modal menyingkirkan kaum buruh dari pekerjaannya.
Dari rekomendasi yang dihasilkan dari National Summit 2009, bukan hanya yang berkaitan dan atau yang akan berdampak bagi kaum buruh saja, tetapi terhadap seluruh kelompok rakyat (kaum tani, kaum miskin kota, dan yang lainnya) dalam segala aspek kehidupannya. Indikasinya juga dapat dilihat dari penyesuaian regulasi, yakni di bidang pertanahan, khusunya menyangkut penyediaan tanah untuk pembangunan: Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan, yang berpotensi besar menjadi landasan bagi penggusuran dan atau perampasan tanah atau lahan–lahan (pemukiman maupun usaha) milik rakyat yang, sebelum keluarnya aturan tersebut, juga sudah terjadi secara massive. Lebih mendasar lagi, ancaman terhadap demokrasi juga bisa tampak dari National Summit dengan rekomendasi di bidang keamanan yang disisipkan lewat pintu (dalih) penanggulangan bahaya terorisme. Sebagai mana kita ketahui bersama, bahwa alasan pencegahan dan atau penanggulangan bahaya terorisme sering berbenturan atau sering dijadikan bandul yang diauyunkan secara bersamaan menabrak hak-hak demokrasi dan politik rakyat, seperti intervensi aparat kemanan (polisi, tentara, dan lainnya) yang semakin dalam dalam berbagai aspek kehidupan rakyat, pengetatan hak-hak berserikat bagi kaum buruh, dan lain sebagainya yang, muaranya, dapat menjadi legitimasi bagi tindakan refresi terhadap gerakan rakyat.
Sehingga, terbaca jelas logika di balik istilah menghilangkan hambatan pembangunan ekonomi bagi rezim SBY-Boediono adalah: apa yang menguntungkan bagi pemerintah & kaum modal sama dengan pemiskinan dan penderitaan bagi rakyat. Maka, sebagaimana judul dalam dokumen resmi yang dikeluarkan KADIN (Kamar Dagang & Industri), yakni “Road Map” atau “Peta Arah” Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009–2014, bagi rakyat Indonesia dapat diartikan sebagai PETA JALAN PENYINGKIRAN RAKYAT.
National Summit dan Kepentingan Modal Internasional
Krisis kapitalisme telah mendorong kaum modal untuk lebih mencengkramkan kendalinya atas negara—negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki sumber daya alam yang kaya dan beraneka ragam serta jumlah penduduk yang banyak, sebagai lahan yang menggiurkan bagi kaum modal. Di Indonesia tersedia sumber–sumber (resources) yang dibutuhkan bagi kaum modal untuk setidaknya menambal kondisi krisis yang terjadi saat ini, yaitu : sumber bahan mentah dan tenaga kerja murah sekaligus pasar yang potensial. Hal tersebut didukung oleh watak penguasa yang jejak rekamnya mulai dari rejim Soeharto hingga rejim SBY sekarang karakter kebijakan ekonomi politiknya sama sekali tidak bisa dilepaskan dari kepentingan modal internasional yang di-dikte-kan melalui lembaga-lembaga keuangan dan “bantuan” internasional seperti IMF, WTO dan World Bank.
Salah satu momentum cengkraman yang semakin dalam dari kekuatan modal internasional terhadap perekonomian Indonesia bisa dilihat pada saat krisis ekonomi 1997, di mana pada waktu itu Indonesia terjerembab dalam lilitan utang luar negeri lembaga-lembaga “bantuan’ dan keuangan internasional (terutama IMF, Bank Dunia) yang jatuh tempo, sehingga pemerintah Indonesia pada saat itu, yang dipimpin oleh Soeharto, terpaksa harus menandatangani Letter of Intens (LOI) danStructural Adjustment Program (SAP) sebagai bentuk penerimaan atas resep-resep penyelesaian krisis sekaligus track pengelolaan ekonomi Indonesia sesuai dengan kepentingan kaum modal. Hingga, kemudian, segala apsek pembangunan dan pengelolaan ekonomi Indonesia terintergrasi dan dalan kerangkeng kepentingan kaum modal, di antaranya di bidang perdagangan terikat dalam aturan main perdagangan bebas (baik yang bersigat multilateral, regional maupun maupun bilateral) sebagaimana dibuat WTO, yang menyebabkan pasar dalam negeri kebanjiran produk-produk dari negeri-negeri industri maju atau China dan India karena ada pembebasan tarif dan mematikan produk komoditi dalam negeri. Salah satunya adalah Perjanjian atau kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China yang efektif berlaku per januari 2010, yang akan diikuti oleh perjanjian sejenis dengan negeri-negeri industri maju lainnya.
Di bidang eksplorasi sumber daya alam, juga demikian, bahkan sudah berlangsung puluhan tahun terutama sejak rejim Soeharto, yakni penyerahan eksplorasi sumber–sumber minyak, batu bara, emas, dan lain-lainnya, dalam kontrak karya yang jauh lebih banyak menguntungkan korporasi asing. Demikian juga penjualan BUMN-BUMN strategis (privatisasi) kepada pihak asing. Itu semua sebagai cara kaum modal untuk memastikan akumulasi kekayaannya di Indonesia sekaligus jalan keluar dari krisis kapitalisme dengan memonopoli sumber–sumber bahan mentah dan penguasaan pasar.
Dalam proses semakin menancapkan kontrolnya atas ekonomi Indonesia, kaum modal juga menginginkan situasi yang kondusif terutama so’al ketersediaan infra struktur dan keamanan untuk semakin memapankan kontrolnya baik terhadap akses ekonomi yang lebih dalam maupun kontrol terhadap politik. Aspek kemanan bagi kaum modal tentu saja salah satunya aman dari perlawanan-perlawanan rakyat yang dapat mengancam gerak modal—yang memiliki dialektika dengan penghisapan terhadap rakyat miskin dan dapat memicu perlawanan dari massa rakyat. Oleh karena itu, sebagi pelayan modal yang patuh, pemerintahan Indonesia di bawah rezim SBY, terus meluaskan struktur cengkraman kaum modal dari hulu hingga hilir, termasuk penyediaan infra setruktur dan penyerahan proyek-proyeknya kepada modal asing. Maka ajang–ajang seperti National Summit dan kebijakan–kebijakan yang dihasilkannya tak lain sebagi tanda bukti kepatuhan dalam melayani kepentingan modal sekaligus basis bagi penindasan terhadap rakyat.
Sikap Gerakan Rakyat.
Bagi rakyat Indonesia sudah jelas dan sudah dapat merasakan dampak dari kebijakan-kebijakan rezim pelayan modal–SBY–Boediono: perampasan tanah, penggusuran pemukiman dan lahan ekonomi, PHK Massal, Upah Murah, penindasan hak-hak politik dan demokrasi, diskriminasi perlakuan hukum terhadap orang–orang miskin semakin terus belangsung dan massive, bahkan semakin dimapankan dalam bentuk produk peraturan dan perundangan sebagaimana yang akan dihasilkan atas rekomendasi National Summit 2009.
Respon-respon perlawanan rakyat terhadap kebijakan rezim SBY dari yang moderat sampai yang radikal hampir setiap hari marak, baik yang belum terkonsolidasi maupun yang sudah terkonsolidasi dalam wadah–wadah organisasi dan persatuan. Menjelang akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 saja misalnya ribuan buruh di Jabodetabek, Jawa Barat dan Jawa Timur melakukan aksi–aksi massa dengan issu penolakan upah murah dan pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN–China. Sementara pada tanggal 5 Januari, 2010, organisasi serikat buruh yang tergabunga dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Bekasi melakukan Aksi penolakan hasil-hasil National Summit.
Memang sejauh ini perlawanan–perlawanan rakyat masih fragmentatif dan tercerai berai (tidak terintegrasi secara maksimal baik secara ideologi, poilitk dan organisasi—terutama terhadap tugas-tugas kepeloporan gerakan saat ini), namun justru di situlah tugas organisasi gerakan bagaimana menyusun dan menyiapkan strategi dan taktik guna mengolah fragmen-fragmen tersebut.
Sehingga, terbaca jelas logika di balik istilah menghilangkan hambatan pembangunan ekonomi bagi rezim SBY-Boediono adalah: apa yang menguntungkan bagi pemerintah & kaum modal sama dengan pemiskinan dan penderitaan bagi rakyat. Maka, sebagaimana judul dalam dokumen resmi yang dikeluarkan KADIN (Kamar Dagang & Industri), yakni “Road Map” atau “Peta Arah” Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009–2014, bagi rakyat Indonesia dapat diartikan sebagai PETA JALAN PENYINGKIRAN RAKYAT.
National Summit dan Kepentingan Modal Internasional
Krisis kapitalisme telah mendorong kaum modal untuk lebih mencengkramkan kendalinya atas negara—negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki sumber daya alam yang kaya dan beraneka ragam serta jumlah penduduk yang banyak, sebagai lahan yang menggiurkan bagi kaum modal. Di Indonesia tersedia sumber–sumber (resources) yang dibutuhkan bagi kaum modal untuk setidaknya menambal kondisi krisis yang terjadi saat ini, yaitu : sumber bahan mentah dan tenaga kerja murah sekaligus pasar yang potensial. Hal tersebut didukung oleh watak penguasa yang jejak rekamnya mulai dari rejim Soeharto hingga rejim SBY sekarang karakter kebijakan ekonomi politiknya sama sekali tidak bisa dilepaskan dari kepentingan modal internasional yang di-dikte-kan melalui lembaga-lembaga keuangan dan “bantuan” internasional seperti IMF, WTO dan World Bank.
Salah satu momentum cengkraman yang semakin dalam dari kekuatan modal internasional terhadap perekonomian Indonesia bisa dilihat pada saat krisis ekonomi 1997, di mana pada waktu itu Indonesia terjerembab dalam lilitan utang luar negeri lembaga-lembaga “bantuan’ dan keuangan internasional (terutama IMF, Bank Dunia) yang jatuh tempo, sehingga pemerintah Indonesia pada saat itu, yang dipimpin oleh Soeharto, terpaksa harus menandatangani Letter of Intens (LOI) danStructural Adjustment Program (SAP) sebagai bentuk penerimaan atas resep-resep penyelesaian krisis sekaligus track pengelolaan ekonomi Indonesia sesuai dengan kepentingan kaum modal. Hingga, kemudian, segala apsek pembangunan dan pengelolaan ekonomi Indonesia terintergrasi dan dalan kerangkeng kepentingan kaum modal, di antaranya di bidang perdagangan terikat dalam aturan main perdagangan bebas (baik yang bersigat multilateral, regional maupun maupun bilateral) sebagaimana dibuat WTO, yang menyebabkan pasar dalam negeri kebanjiran produk-produk dari negeri-negeri industri maju atau China dan India karena ada pembebasan tarif dan mematikan produk komoditi dalam negeri. Salah satunya adalah Perjanjian atau kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China yang efektif berlaku per januari 2010, yang akan diikuti oleh perjanjian sejenis dengan negeri-negeri industri maju lainnya.
Di bidang eksplorasi sumber daya alam, juga demikian, bahkan sudah berlangsung puluhan tahun terutama sejak rejim Soeharto, yakni penyerahan eksplorasi sumber–sumber minyak, batu bara, emas, dan lain-lainnya, dalam kontrak karya yang jauh lebih banyak menguntungkan korporasi asing. Demikian juga penjualan BUMN-BUMN strategis (privatisasi) kepada pihak asing. Itu semua sebagai cara kaum modal untuk memastikan akumulasi kekayaannya di Indonesia sekaligus jalan keluar dari krisis kapitalisme dengan memonopoli sumber–sumber bahan mentah dan penguasaan pasar.
Dalam proses semakin menancapkan kontrolnya atas ekonomi Indonesia, kaum modal juga menginginkan situasi yang kondusif terutama so’al ketersediaan infra struktur dan keamanan untuk semakin memapankan kontrolnya baik terhadap akses ekonomi yang lebih dalam maupun kontrol terhadap politik. Aspek kemanan bagi kaum modal tentu saja salah satunya aman dari perlawanan-perlawanan rakyat yang dapat mengancam gerak modal—yang memiliki dialektika dengan penghisapan terhadap rakyat miskin dan dapat memicu perlawanan dari massa rakyat. Oleh karena itu, sebagi pelayan modal yang patuh, pemerintahan Indonesia di bawah rezim SBY, terus meluaskan struktur cengkraman kaum modal dari hulu hingga hilir, termasuk penyediaan infra setruktur dan penyerahan proyek-proyeknya kepada modal asing. Maka ajang–ajang seperti National Summit dan kebijakan–kebijakan yang dihasilkannya tak lain sebagi tanda bukti kepatuhan dalam melayani kepentingan modal sekaligus basis bagi penindasan terhadap rakyat.
Sikap Gerakan Rakyat.
Bagi rakyat Indonesia sudah jelas dan sudah dapat merasakan dampak dari kebijakan-kebijakan rezim pelayan modal–SBY–Boediono: perampasan tanah, penggusuran pemukiman dan lahan ekonomi, PHK Massal, Upah Murah, penindasan hak-hak politik dan demokrasi, diskriminasi perlakuan hukum terhadap orang–orang miskin semakin terus belangsung dan massive, bahkan semakin dimapankan dalam bentuk produk peraturan dan perundangan sebagaimana yang akan dihasilkan atas rekomendasi National Summit 2009.
Respon-respon perlawanan rakyat terhadap kebijakan rezim SBY dari yang moderat sampai yang radikal hampir setiap hari marak, baik yang belum terkonsolidasi maupun yang sudah terkonsolidasi dalam wadah–wadah organisasi dan persatuan. Menjelang akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 saja misalnya ribuan buruh di Jabodetabek, Jawa Barat dan Jawa Timur melakukan aksi–aksi massa dengan issu penolakan upah murah dan pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN–China. Sementara pada tanggal 5 Januari, 2010, organisasi serikat buruh yang tergabunga dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Bekasi melakukan Aksi penolakan hasil-hasil National Summit.
Memang sejauh ini perlawanan–perlawanan rakyat masih fragmentatif dan tercerai berai (tidak terintegrasi secara maksimal baik secara ideologi, poilitk dan organisasi—terutama terhadap tugas-tugas kepeloporan gerakan saat ini), namun justru di situlah tugas organisasi gerakan bagaimana menyusun dan menyiapkan strategi dan taktik guna mengolah fragmen-fragmen tersebut.
|