Kamis, 25 Maret 2010

Merebut Kemenangan, Membangun Kembali Gerakan Buruh



May day atau yang kita kenal dengan hari buruh internasional merupakan kemenangan buruh dunia dalam memenangkan tuntutan 8 jam kerja. Kala itu, tepatnya pada 1 Mei 1886, sekitar setengah juta buruh di Amerika Serikat turun ke jalan menuntut 8 jam kerja. Pada masa itu jam kerja buruh adalah 12 hingga 16 jam per hari, sebuah penghisapan yang membabi buta dari kaum pemilik modal. Perjuangan tersebut bukan tanpa pertumpahan darah, sebab Negara sebagai alat kapitalis melalui aparat kepolisian, merepresi demonstrasi kaum buruh waktu itu. Hasilnya, empat buruh tewas dan delapan buruh dipenjarakan, namun buruh tidak menghentikan aksinya, bahkan bisa mendorong buruh di Negara-negara lain turut turun ke jalan menuntut hal yang sama.

Akhirnya, tuntutan buruh 8 jam kerja tercapai dan kongres buruh pada tahun 1889 memutuskan tgl 1 Mei sebagai hari buruh internasional. Sebuah kemenangan yang layak diperingati oleh kaum buruh sedunia bahwa kekuatan buruh mampu merobohkan keangkuhan kaum pemilik modal dan memaksanya memenuhi tuntutan kaum buruh.
Ironi Kondisi Buruh Indonesia

Kini, setelah dua abad berselang, sebuah ironi menggugah kita semua, dimana saat kapitalisme dunia lagi-lagi mengalami krisis, buruh menjadi pihak yang paling tertindas, terutama di Negara dunia ketiga seperti Indonesia. Di Indonesia, kita masih menemui jam kerja buruh lebih dari 8 jam dengan dalih target yang harus dipenuhi. Di KBN Cakung misalnya, kita bisa dengan mudah menemukan buruh bekerja lebih dari 8 jam yang dibungkus dengan ‘skorsing’, sebuah istilah jam kerja tambahan tanpa upah sebagai hukuman karena gagal memenuhi target yang telah diputuskan pihak perusahaan. Istilah skorsing dengan dalih sanksi bagi buruh ini sudah marak di KBN Cakung, dan mungkin juga marak di kawasan industri lainnya meski dengan istilah yang berbeda. Kasus lain juga ditemui, yakni berupa lembur yang tak dibayarkan atau perhitungan lembur yang tak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku. Semua situasi tersebut merupakan hal lazim dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Alih-alih memberikan perlindungan, pemerintah melalui Depnaker maupun Disnaker tak berkutik menghadapi beragam pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Pihak pengawas di Disnaker misalnya terkesan lamban dalam menghadapi pelanggaran yang diadukan oleh buruh. Alhasil, banyak kasus yang pada akhirnya memakan waktu yang cukup lama atau bahkan pada akhirnya buruh terpaksa menelan kekalahan baik di PHI maupun di tingkat kasasi.


Sementara dalam tataran kebijakan pemerintah, keberpihakan terhadap buruh semakin minim. Hal itu terlihat dari berbagai kebijakan yang diterapkan. Dari kebijakan penetapan upah yang tak setara dengan kebutuhan buruh di tengah harga kebutuhan pokok yang kian melonjak. Penetapan UMP di berbagai daerah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan buruh ala kadarnya. Ala kadarnya, dalam artian tidak memenuhi standar kelayakan dimana sejatinya manusia membutuhkan makanan bergizi, kesehatan dan pendidikan layak. Selain upah yang masih rendah, kehidupan buruh selalu dihadapkan pada ancaman pengangguran dan PHK. Terlebih, setelah ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) diberlakukan per Januari 2010. Kebijakan tersebut memberi ruang bagi produk dari Negara-negara Asean dan China untuk memenuhi pasar dalam negeri tanpa tariff atau bebas tariff. Akibatnya, produk dalam negeri akan sangat sulit bersaing karena masih tertinggal dalam hal kualitas maupun tekhnologi. Hal itu akan berdampak pada bangkrutnya indsutri dalam negeri dan tentu saja PHK massal pada kaum buruh. Ancaman PHK bisa pula menimpa kaum buruh yang bekerja di pabrik-pabrik milik Negara asing di dalam negeri, sebab produk China saat ini tak hanya memborbardir pasar dalam negeri tapi juga pasar internasional, sehingga akan berdampak pula bagi produk Negara lain. Diperkirakan, ACFTA akan menyebabkan pengangguran sebesar 7,5 orang. Kesejahteraan yang makin jauh tak terjangkau, kondisi kerja yang kian buruk, membuat buruh tak sanggup lagi mengakses pendidikan dan kesehatan sehingga tenaga produktif buruh dan keluarganya cepat atau lambat menuju penghancuran.

Gerakan Buruh Indonesia, Jejak Perlawanan yang Terkubur

Momentum May Day bagi gerakan buruh bukan semata untuk sekedar mengenang kemenangan masa lampau tapi untuk mengingatkan pada kaum buruh bahwa buruh memiliki kemampuan untuk meraih kemenangan. Sebuah kemampuan yang terkadang terlupakan bagi kaum buruh dan dimanipulasi sedemikian rupa oleh kaum kapitalis dan penguasa, bahwasanya buruh sudah menang. Padahal, fakta menunjukkan buruh masih tertindas yang tercermin dari berbagai kasus perburuhan yang tak henti-hentinya terjadi dan terus berulang.
Dalam sejarahnya, buruh Indonesia memiliki catatan panjang, bahkan mengagumkan sebagai sebuah gerakan. Beberapa serikat buruh pernah berdiri di negeri kita, sejak jaman kolonial. Serikat buruh pertama yang didirikan adalah SS Bond (Staatspoorwegen Bond) pada tahun 1905 di Jawa oleh buruh-buruh kereta api. Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh orang-orang Belanda dan pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi mayoritas anggota (826 dari 1.476 orang). Meski demikian, anggota pribumi tetap tidak memiliki hak pilih atau suara dalam organisasi. Serikat buruh ini tidak pernah berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir pada tahun 1912. Selanjutnya, pada tahun 1908 muncul serikat buruh kereta api yang lain, yakni Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (vstp). Serikat ini memiliki basis yang lebih luas ketimbang SS Bond, karena melibatkan semua buruh tanpa membedakan ras, jenis pekerjaan, dan pangkat dalam perusahaan. Organisasi ini berkembang menjadi militan, terutama sejak 1913, di bawah pimpinan Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu juga tercatat sebagai tokoh gerakan radikal di Jawa hingga tahun 1920-an.

Selain kedua serikat buruh tersebut, terdapat beberapa organisasi buruh lainnya, seperti Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), yang didirikan pada tahun 1912; kemudian Opium Regiebond, yang didirikan oleh buruh-buruh pabrik opium pada tahun 1915; Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), pada tahun 1916, di bawah pimpinan R. Sosrokardono; Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIP-BOW), pada tahun 1916, yang didirikan oleh buruh-buruh pribumi pada dinas pekerjaan umum (seperti PU sekarang), Personeel Fabriks Bond (PFB) pada tahun 1919 di bawah pimpinan R. Mo. Surjopranoto; Sarekat Boeroeh Onderneming (SBO), pada tahun 1924 untuk buruh-buruh perkebunan; Serikat Sekerdja Pelaboehan dan Pelajaran, dan sejumlah serikat buruh lain dari bidang pertambangan, percetakan, listrik, industri minyak, sopir, penjahit, dan sebagainya. Pada tahun 1920 telah tercatat ada sekitar seratus serikat buruh dengan 100. 000 anggota. Bertambahnya jumlah anggota dan serikat buruh dalam waktu relatif singkat, harus dikaitkan dengan aksi-aksi propaganda yang dibuat oleh para aktivis melalui pamflet, selebaran dan surat kabar. Rapat-rapat umum yang dihadiri oleh orang banyak juga sering diadakan oleh para aktivis untuk mendapat dukungan.

Pada masa ini, VSTP tetap menjadi serikat buruh yang memiliki anggota paling banyak, dan terhitung penting serta militan. Di bawah pimpinan Semaun, serikat buruh ini terus memperjuangkan kepentingan kaum buruh, seperti pembelaan hak-hak buruh, memperbaiki kondisi kerja dan sebagainya. Dalam usahanya itu, Semaun membuat sebuah ‘buku panduan’ bagi para aktivis gerakan buruh di Hindia. Para pemimpin VSTP ini, kemudian dengan sejumlah tokoh sosialis lainnya mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Tokoh-tokoh yang tidak setuju dengan gagasan ini kemudian membentuk Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP) pada tahun 1917. ISDV ini kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920. Pada bulan September 1922, berdiri Persatoean Vakbonden Hindia (PVH) yang pada tahun 1922, PVH menyatakan bahwa anggotanya terdiri atas 18 serikat buruh dengan 32. 120 buruh.Uraian ini memperlihatkan bahwa gerakan buruh di Indonesia sejak awal tidak terpisahkan dari aktivitas politik.

Hingga pada masa kemerdekaan, serikat-serikat buruh tetap aktif dalam perjuangan. Pada 15 September 1945 diselenggarakan kongres buruh nasional yang menyatukan beberapa serikat buruh dan lahirlah organisasi buruh nasional yang dinamakan BBI (Barisan Boeroeh Indonesia). Organisasi inilah yang kemudian bersepakat mendirikan Partai Boeroeh Indonesia (PBI) tanpa membubarkan BBI. Sementara di Sumatra, berdirilah Persatoean Pegawai Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI) pada bulan Oktober 1945. Di tahun yang sama, berdiri pula Laskar Boeroeh Indonesia yang mewadahi kaum buruh untuk terlibat dalam perjuangan fisik melawan Belanda. Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti. Berbagai aktivitas pendidikan dan kesadaran dilakukan oleh organisasi ini pada kaum buruh perempuan, tentang pentingnya persatuan. Pada tanggal 1 Mei 1946 (Perayaan Hari Buruh), BBW telah berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan. Hal ini menunjukkan bahwa buruh perempuan memiliki peran yang tak sedikit dalam perjuangan kemerdekaan. Sebuah kemajuan, yang bahkan di jaman sekarang belum tercapai lagi.

Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya. Banyaknya serikat buruh yang bermunculkan menimbulkan kebutuhan akan federasi serikat buruh berskala nasional maka pada tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI. Organisasi ini dibentuk berdasarkan lapangan kerja namun kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946. Selanjutnya, tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya, dibawah pimpinan tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono. SOBSI pada masa pemerintahan Soekarno menjadi serikat buruh yang paling besar. Tercatat SOBSI mewadahi 60% dari buruh yang terorganisir, dengan keanggotaan 2.661.970 orang sebagaimana yang dinyatakan oleh menteri perburuhan pada tahun 1956. SOBSI juga aktif berpolitik dan menjadi organisasi underbow PKI. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden WFTU. Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 terdiri atas serikat-serikat buruh yang non komunis. Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000 orang, tapi segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya. Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.
Selain SOBSI, ada pula SBII yang didirikan di bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU). Selanjutnya adalah Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (di tahun 1958 ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.

Maraknya organisasi-organisasi buruh di masa kolonial hingga masa kemerdekaan menggambarkan terorganisirnya kekuatan buruh sesuai dengan ideologinya. Aksi massa, rapat akbar, pemogokan, adalah aktivitas yang kerap kali dilakukan sebagai metode perjuangan selain aktif berpolitik dengan berafiliasi ke partai politik tertentu.

Setelah Orde Baru berkuasa, atas nama pembrantasan komunisme, di atas pembantaian berdarah sekian juta rakyat Indonesia, gerakan buruh dihancurkan dan hanya boleh terorganisir dalam satu organisasi buruh yang kita kenal dengan SPSI. Tak hanya buruh, seluruh rakyat Indonesia hanya boleh berorganisasi dalam satu wadah sesuai dengan sektornya masing-masing. Massa yang terorganisir di dalamnya merupakan massa mengambang, tanpa ideologi dan apolitis. Demokrasi dipasung atas nama stabilitas nasional. Namun menjelang kejatuhan Orde Baru, pemogokan-pemogokan buruh mulai terjadi, beberapa diantaranya diorganisir oleh PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia). Kematian Marsinah, seorang buruh perempuan yang tewas terbunuh setelah melakukan demonstrasi di pabrik tempat ia bekerja menjadi ikon gerakan buruh dan membangkitkan solidaritas buruh. Demikian pula halnya dengan penangkapan aktivis buruh seperti Dita Indah sari dan Mochtar Pakpahan, turut membakar amarah massa rakyat. Puncaknya adalah pada bulan Mei 1998, Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun tumbang oleh gerakan rakyat dan mahasiswa.

Menyatukan yang Berserak; Menata Kembali Gerakan Buruh

Kini setelah Orde Baru tumbang, kebebasan berorganisasi mulai berhembus, berbagai organisasi serikat buruh mulai berdiri meski SPSI sebagai peninggalan Orde Baru masih memiliki keanggotaan yang luas. Organisasi-organisasi serikat buruh tersebut bisa dibagi menjadi dua berdasarkan karakternya yakni serikat buruh kuning, serikat buruh progresif. Serikat buruh kuning adalah serikat buruh yang meyakini bahwa pertentangan antara buruh dan pemilik modal bisa didamaikan atau buruh dan pemilik modal adalah mitra kerja. Tak jarang serikat buruh kuning tidak segan-segan menerima suap dari para pemilik modal atau pengusaha. Menjadikan kasus perburuhan sebagai peluang untuk meraup keuntungan, bahkan turut menjadi pengusaha outsourcing yang menjual tenaga buruh. Serikat buruh yang ke dua adalah serikat buruh progresif yakni serikat buruh yang meyakini bahwa pertentangan antara buruh dan pemilik modal atau pengusaha tak bisa didamaikan dan selalu bertentangan karena kepentingan yang berbeda. Sebagai pemilik modal, pengusaha akan mempertahankan kepentingannya untuk menghisap tenaga kerja buruh.

Akan tetapi hingga kini, keanggotaan mayoritas buruh masih terwadahi dalam serikat buruh kuning seperti SPSI dan pecahannya, SPN dan SPMI. Dan masih lebih banyak lagi buruh yang tak terorganisir dalam serikat buruh. Sementara masih sedikit sekali buruh yang terorganisir dalam serikat buruh progresif seperti KASBI, FPBJ, GSPB, GSBI dll. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi serikat buruh kuning masih sangat besar. Maka dari itu, propaganda kepada lautan massa buruh yang reformis adalah wajib. Mendorong mereka untuk berani meninggalkan serikat buruh kuning. Bukan perkara mudah memang sebab tak jarang kaum buruh ini memiliki ketakutan akan represi yang akan diterimanya dari serikat buruh kuning maupun pengusaha. Tidak boleh menjadi hambatan bagi kita untuk berpropaganda kepada mereka, maka bersatu dengan serikat buruh kuning dalam satu front bisa menjadi panggung bagi kita untuk berpropaganda pada massa mengambang dari serikat buruh kuning. Maka, selebaran, pamphlet, rapat akbar sebagaimana yang pernah dilakukan oleh serikat buruh di masa kemerdekaan. Metode tersebut adalah cara yang efektif untuk member keyakinan pada buruh akan kekuatannya. Front tersebut sekaligus latihan bagi mereka untuk berpartisipasi. Oleh sebab itu, isian propaganda tak bisa kita tahap-tahapkan dengan alasan kesadaran mereka yang masih terbelakang. Harus dijelaskan pada lautan massa reformis dan terbelakang bahwa sosialisme adalah jawabannya. Sosialisme harus dijelaskan selugas mungkin tanpa dilembut-lembutkan atau dikaburkan. Sosialisme yang berarti adalah perebutan kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan bersama. Dimana buruh harus berkuasa bersama elemen gerakan rakyat lainnya dalam wujud dewan-dewan rakyat, dengan sentralisme demokrasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan. Bahwa partisipasi buruh, sejak dari sekarang harus dilatih, diwadahi dalam sebuah serikat buruh progresif sebagai embrio dewan buruh.

Dengan tidak menahap-nahapkan propaganda kepada lautan massa reformis dan terbelakang maka kita tidak membuntut pada kesadaran massa terbelakang, sebaliknya kita telah menyaring unsur termaju di mereka. Maka, meski tuntutan buruh adalah ekonomis, kita wajib menjelaskan pada mereka bahwa tuntutan buruh tak boleh berhenti pada tuntutan ekonomis. Bahwa tugas kaum buruh tak hanya memperjuangkan upah naik atau hak normative lainnya, namun juga memperjuangkan sosialisme dan menumbangkan kapitalisme. Sekali lagi tidak ada jatah-jatahan dalam isian propaganda.
Selain mengintervensi panggung serikat-serikat buruh kuning, kita membutuhkan koran sebagai alat propaganda kita. Koran memiliki peran yang penting untuk menjangkau massa luas yang belum terorganisir dan buruh-buruh yang berlawan, yang berserak di berbagai daerah dengan beragam isu. Dewasa ini, liputan media tak pernah luput dari aksi-aksi buruh yang berlawan. Dari isu tuntutan upah layak, menolak PHK, outsourcing, dan isu perburuhan lainnya. Massa buruh sudah mengerti tentang bagaimana mereka harus berlawan ketika hak-haknya dipreteli. Menjadi tugas serikat buruh progresif untuk menyatukannya yakni dengan alat-alat propaganda berupa Koran.
Hal terpenting bagi buruh adalah berpolitik. Oleh karena itu, penting bagi buruh untuk membentuk partai politik sejati bersama elemen gerakan rakyat lainnya. Sebuah partai politik yang memperjuangkan sosialisme dan memimpin perjuangan menggulingkan rejim boneka kapitalis serta membangun sosialisme. Partai politik sejati inilah yang akan menyatukan kekuatan kaum buruh dan tani, dan elemen gerakan rakyat lainnya.

Ditulis oleh Dian Septi Trisnanti
Aktivis KP-PPBI (Komite Persiapan Pusat Pergerakan Buruh Indonesia)

BACA ARSIP DI BLOG INI

Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia

"GABUNGAN SOLIDARITAS PERJUANGAN BURUH, BEKASI"
" FORUM BURUH LINTAS PABRIK, JAKARTA "
"FNPBI-PRM MEDAN"
" SBBSU SUMATERA UTARA "
"FNPBI-PRM SURABAYA"
"FNPBI INDEPENDEN MOJOKERTO"
"SERIKAT BURUH GARUDA, SUMEDANG"
"FNPBI-PRM SAMARINDA"
"FNPBI-PRM BALIKPAPAN"
" FORUM SOLIDARITAS PERJUANGAN BURUH, BANDUNG "

KPRM-PRD

G S P B