Rabu, 24 Maret 2010

1 mei “ Dan Proletariat Menggugat”



Mungkin Kami adalah yang tak pernah punya dunia nyata , exsistensi kami tak pernah terasa. walaupun menurut mereka sendiri, Setengah manusia dari isi negeri ini adalah kami, kadang kami dihadirkan kepermukaan, tapi. … sekelebat saja mereka berbicara di ruang ruang aula hotel tentang kami, mereka berdebat tentang perlakuan orang-orang tertentu pada kami hak azasi dan keadilan, Katanya.

Mereka banyak bicara tentang kami tapi kadang kami tidak sempat untuk mengerti itu semua, Mungkin bagi kami akan mudah dimengerti dan lebih berarti jika pembicaraan dan perdebatan itu ada di dalam kontrakan kami yang sempit, di pabrik-pabrik, atau ketika kami sedang menggugat pengusaha dan pemerintah,.



Mungkin Kami adalah sebuah realita yang kadang tidak bisa menunggu sebuah hasil dari pembicaraan dan perdebatan, kadang kami sulit dan tak bisa menerima teori teori instant yang dihasilkan dari seminar-seminar dan aneka macam symposium, tanpa memahami proses lahirnya sebuah teori.

Memang kami adalah cahaya kecil dipekat malam, tapi kami semua yakin, kami akan menjadi kobaran api yang akan merubah pekatnya malam menjadi terang. Karena kami tau kapitalisme sedang mengalami krisis, dan dia sedang menggali liang kuburnya sendiri dengan agenda neolibralismenya dangan cara penerapan deregulasi pada Negara-negara jajahannya yang mengakibatkan kami termarjinalkan dan kehilangan exsistensi kaum kami karena termiskinkan, Kenaikan harga minyak,Tdl, harga–harga kebutuhan pokok yang lainya, serta perlindungan dan jaminan pemerintah yang lemah, dengan di berlakukannya UU Ketenaga kerjaan yang menghalalkan pemberlakuan Sistim upah murah, dan sistim tenaga kerja kontrak, dan PHK, Kedepan nya akan banyak dari kami yang kehilangan pekerjaannya, dan entah berapa banyak lagi saingan yang harus kami taklukan agar kami punya tempat di negeri ini

Tapi kami adalah sekedar kami, yang kadang kami menjadi dogma, tak sedikit labelisasi yang kami dapatkan yang hanya karena kami menolak sebuah kebijakan yang tidak adil menurut kami, dan ketika kami menginginkan keinginan yang menjadi bagian dari kami, mereka sebut kami anarkis apabila yang menjadi keinginan kami kurebut dari mereka dengan cara paksa.

Tapi anehnya semua dogma itu tidak pernah dimiliki dan disandang oleh kaum intelektual liar yang memenuhi ruang ruang seminar dan symposium- symposium atau para kaum elitis sebagai perancang sekenario ide-ide yang selalu mengerahkan orang bagian dari kami lewat kekuatan uangnya.

Tapi mungkin Dogma dan sebutan-sebutan itu lebih bagus dan lebih suci bagi kami yang tak pernah diberi kesempatan untuk memiliki identitas diri, kami tak pernah diberi keyakinan untuk mampu berkata, “ inilah kami, kerja keras kami, dan ini hasil karya kami terhadap Negara kami” Itulah kami, yang tak pernah mengenal retorika, kami yang tak mengenal lelah,bagi kami hidup adalah kerja, walaupun kami tak pernah sedikitpun di beri kesempatan

“Sementara Memeras keringat, membanting tulang,sekuat tenaga,
segala kerja didunia ini tak tercipta tanpa tenagaku,
namun upah kerjaku tiada cukup ‘ tuk sekedar makan ‘

Pagi hari di waktu pajar bercahaya,
tak ku kenal lelah, bangun pagi aku pergi kerja
Betapa berat aku bergulat dan memeras keringat pagi hingga petang
Namun jerih payahku hanya sedikit ku ikut menikmati

Karena itulah Kami terpaksa harus bertarung dengan garangnya sisitem kapitalisme dan struktur-stukturnya, kami juga terpaksa harus meninggalkan keluarga kami, dan kami akan terus menelusuri gang-gang dan kontrakan sempit, pabrik-pabrik sampai dengan mendatangi gedung–gedung yang di huni kaum munafik, untuk mengumandangkan perang, kami tidak akan menyerah pada nasib, untuk mencapai kebahagian, mengubah nasib sendiri untuk meleyapkan ketidak adilan.

Walaupun kini kami telah kehilangan beberapa kawan yang pergi Karena tidak tahan dengan desakan ekonomi dan represip Negara, dan sebagian lagi pergi mengisi ruang seminar-seminar dan aneka macam symposium.

Tapi Kami yakin, Semakin dewasa seseorang akan semakin tahu ia tentang itu semua,
terutama ketika kemudian ia sendiri menjadi orang upahan di dunia usaha yang tak adil.
kami kira dalam hidup manusia di abad sekarang ini slalu ada, tercetus atau tidak,
amarah yang benar. Karna saat ini jutaan dari kami sedang terancam, kehilangan pekerjaannya, mungkin itulah yang membuat sampai sekarang kami mampu bertahan Karena kami yakin Jumlah para pekerja yang berdiri di atas perjuangan akan semakin berkembang dan Perlawanan merupakan wujud buah dari hasil pengorganisiran dan pengabdian pada Kaum Proletariat itu sendiri, karena kami punya keyakinan proletariat akan lahir sebagai kelas

Karena “ Proletariat “ Sebagai “ Kelas” Adalah konsep yang datang kemudian,
Marxisme memang bisa menyadarkan kita: ia mengajarkan tentang penghisaapan yang terjadi, Karena “ nilai lebih” yang tak di hargai, karena ada dusta yang disebarluaskan tentang bagusnya masyarakat yang akur dan selaras. Tapi guru yang baik adalah pengalaman.

Itu sebabnya selalu datang saat-saat gagasan radikal,dengan atau tanpa doktrin.
Lagu Internasionale Berseru dengan bergelora “ Perjuangan penghabisan, bangkitlah melawan “ Tapi gelora itu bisa datang tanpa sebuah nyanyian partai, karena kami beranggapan bahwa bukan marxisme yang menciptakan orang-orang radikal, melainkan setiap generasi orang radikal yang menciptakan marx nya sendiri.

Itu sebabnya amarah dan gagasanlah yang menghendaki sebuah dunia yang berubah sampai ke akar yang terdalam, punya sesuatu yang bisa mirip dengan semangat komunisme dalam dirinya. Seperti Bagi marxisme _leninisme, dunia yang ada kini dan disini adalah sebuat cacat. Kaki yang berpijak di dunia yang seperti itu juga, kaki yang hendak terbang dari sana, setelah menyepaknya. Dalam komunisme ada pandangan etis yang terang berapi-api dalam persoalan ketidak adilan dunia. Ada sesuatu yang-apalagi jika di sebut sebagai kehendak sesuatu yang ilmiah menjadi mutlak.

Tapi bagi kami itu tak seluruhnya gampang, karena kami melihat antara sikap etis dan proses politik terdapat bukan saja sebuah ngarai, tapi juga ketegangan yang tak kelihatan, disebelah sini adalah tuntutan, atau sebuah gambaran ideal, tentang apa yang adil,
di sebelah sana adalah politik yang, seperti kata sebuah klise, di sebelah sini satu imperative moral, di sebelah sana politik sebagai kiat menemukan modus dan efektipitas kerja dalam kondisi yang apa adanya.

Kadang kami melihat Di suatau masa ketika amarah jadi sesuatu yang benar,
karena ketidak adilan yang begitu menyesakkan napas, imperative moral itu cenderung diharap menjadi besar. Tapi disisi lain sejarah berangsur-angsur membuka perspektif lain,
mungkin sebab itu kami bisa mengatakan bahwa dalam percaturan politik,
ada dua kemungkinan Politik sebagai sebuah pelaksana “ etika tanggung jawab “ atau politik sebagai sebuah relasi : atika hati nurani “ yang pertama menunjukann kesediaan menerima batas, yang kedua menunjukan kesediaan mengabdikan diri pada tujuan yang absolute. Yang pertama lebih pragmatis ; ia juga bersedia berkawan kembali dengan sang lawan di medan pergulatan. Yang kedua melahirkan orang-orang yang digerakan oleh api kemurnian–dan karena itu tak menghendaki rekonsiliasi.

Lalu yang menjadi pertanyaan bagi kami apakah hanya “ etika tanggung jawab “ yang mungkin jika orang menghendaki perdamaian dalam kehidupan politik, yang tentunya tidak lepas dari bayangan sebuah masyarakat yang didasari kemufakatan untuk saling menghormati hak sesama – sebuah masyarakat yang plural. Dalam masyarakat seperti itu tentunya manusia diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih majemuk ketimbang sekedar hasil sebuah rumusan. Dalam masyarakat seperti itu manusia diakui justru sebagai sesuatau yang tak terumuskan , sesuatu yang tak bisa diterangkan oleh ideology yang menurut marx sama artinya dengan ide palsu dan topeng bagi kepentingan tertentu.

Sebab itu, dengan “etika tanggung jawab “ buruh bukan hanya tampil sebagai “proletariat “ yang diseru tiap awal mei : sebuah mahluk yang telah disulap jadi konsep.
Buruh bukan hantu yang membayang-bayangi zaman. Bukan pula dewa yang akan melintasi waktu . ia juga punya impian, kemarahan yang benar, tapi ia juga punya batas, dan ia tak sendirian, kini dan kemudian hari


Karena Perjalanan perjuangan masih jauh. dari melihat sejarah pergerakan buruh di negeri ini, kami membuat beberapa catatan yang di harus diwaspadai

Penggusuran ataupun penguatan militer dan beberapa tokoh politik nasional dari peran sosial-politiknya itu semua kami yakin didukung oleh kaum kapitalis global, dan isu-isu demokrasi yang ditumbuhkan, itu semua hanya sebagai jalan mulus bagi kepentingan kelancaran berbisnis mereka. Dan kami tidak boleh terbuai dengan dukungan itu, melainkan waspada akan ancaman globalisasi yang dihembuskan oleh kapitalisme dalam wajahnya yang neoliberal. Perjuangan buruh tetap harus dilakukan dengan semangat internasionale.

Kalaupun suatu saat nanti kaum komprador dapat digusur, tetap kami harus hati-hati juga dengan burjuasi nasional yang menguasai arena politik saat ini. Pertanyaan teramat penting: apakah kami tetap memilih untuk berada di luar arena politik kepartaian, dengan segala keuntungan dan risikonya, ataukah akan masuk ke dalam arena itu dan merebut kekuasaan?


Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!
Rebut alat Produksi bangun sosialisme sejati

Ditulis oleh Ikin
Aktivis KP-PPBI

BACA ARSIP DI BLOG INI

Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia

"GABUNGAN SOLIDARITAS PERJUANGAN BURUH, BEKASI"
" FORUM BURUH LINTAS PABRIK, JAKARTA "
"FNPBI-PRM MEDAN"
" SBBSU SUMATERA UTARA "
"FNPBI-PRM SURABAYA"
"FNPBI INDEPENDEN MOJOKERTO"
"SERIKAT BURUH GARUDA, SUMEDANG"
"FNPBI-PRM SAMARINDA"
"FNPBI-PRM BALIKPAPAN"
" FORUM SOLIDARITAS PERJUANGAN BURUH, BANDUNG "

KPRM-PRD

G S P B