Aksi Serentak Nasional 8 Maret 2010
100 Tahun Perjuangan Pembebasan Perempuan
Perempuan Keluar Rumah!
Lawan Kapitalisme, Berjuang untuk Kesejahteraan dan Kesetaraan
Ganti Pemerintahan Kapitalis SBY-Boediono; Tinggalkan Elit-elit Politik Busuk
Bersatu, Bentuk Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin
Perempuan bukan konco wingking; bukan warga negara kelas dua. Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya, dunia bergerak maju karena manusia (laki-laki dan perempuan) telah berhasil mengelola alam dengan membuat, menggunakan, dan memodernisasi alat-alat kerja, sehingga hasil produksi dapat berlimpah (surplus). Pengelolaan tersebut dilakukan dengan setara: tidak ada yang memiliki lebih banyak dari yang lain; tak ada yang mendominasi satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin lainnya.
Ketidaksetaraan, penindasan, dominasi, diskriminasi, penomerduaan perempuan berkembang dan terstruktur secara luas oleh karena kepemilikan pribadi terhadap surplus produksi dan alat-alat produksi (kelas). Dan ini tidak terjadi seketika (dari sononya atau takdir). Ketidakadilan terhadap perempuan adalah ciptaan manusia oleh karena kelas dan patriarki, sehingga bisa diubah oleh manusia itu sendiri.
Manusia perempuan (dan laki-laki) sudah berjuang lebih dari 100 tahun yang lalu untuk kesetaraan dan keadilan. Hasilnya, seperti yang sudah kita nikmati sekarang: perempuan memiliki hak pilih, dapat bekerja, beraktivitas di luar rumah, sekolah, diakui hak atas tubuh dan seksualitasnya, mendapatkan berbagai perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, dll. Namun kenyataannya, sebagian besar hak-hak tersebut tak bisa didapatkan oleh semua perempuan di bawah sistem ekonomi dan politik yang mengabdi pada kepentingan para pemilik modal. Hanya segelintir perempuan kelas atas (orang kaya) yang memiliki landasan lebih besar untuk mendapatkan hak-hak tersebut.
Kapitalisme – Imperialisme & Pemerintah Bonekanya: Musuh Kaum Perempuan
Kapitalisme, sebagai sebuah sistem yang dibangun oleh kelas pemilik modal, dikatakan memberi landasan bagi perempuan kembali ke wilayah-wilayah produksi. Namun hal itu tidak bisa konsisten dilakukan untuk seluruh manusia karena hidupnya kapitalisme berlandaskan penghisapan antar manusia (kesejahteraan segelintir manusia adalah hasil dari penghisapan atas banyak manusia). Sehingga kapitalisme tak akan bisa/tak berkepentingan membangun lapangan kerja produktif dan massal bagi seluruh manusia—termasuk perempuan di dalamnya.
Oleh sebab kepemilikanlah, kapitalisme akan terus-menerus mengalami kontradiksi di dalam dirinya sendiri, satu sisi menekan pendapatan kelas pekerja demi profit, sisi lain menggenjot produksi dengan teknologi tinggi, ataupun melakukan percepatan akumulasi (profit) melalui aktivitas-aktivitas non produksi (spekulasi). Yang terakhir inilah yang paling banyak terjadi saat ini, sehingga lapangan kerja produktif semakin mengecil, harga semakin naik, dan pendapatan rakyat pun semakin merosot. Inilah yang kita sebut sebagai krisis, yang terjadi secara berkala dalam tubuh kapitalisme.
Krisis kapitalisme (atau lebih dikenal sebagai neoliberal) yang tak bisa pulih sejak tahun 1997, dilanjutkan lagi dengan krisis baru-baru ini, sudah semakin memukul mundur kesejahteraan perempuan. PBB mengungkapkan bahwa dari 1,3 miliar warga miskin dunia, 70 % diantaranya adalah perempuan. Tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia [menurut survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2008 angka kematian Ibu berjumlah 390 per 100.000 kelahiran]. Data PNFI Depdiknas menunjukan bahwa dari total angka buta aksara di Indonesia (9,7 juta), 65 % nya adalah perempuan. Menurut Republika online 25 Februari 2010, 6,5 juta perempuan Indonesia masih buta huruf atau sebesar 64% dari penduduk Indonesia dan dua kali lipat dari lelaki yang buta huruf. Menurut data Women Development Survey, perempuan Indonesia memilki angka kemiskinan sebesar 111 juta jiwa, dan data Badan Pusat statistik DKI Jakarta menunjukan angka pengangguran perempuan sebesar 88% dari total angka pengangguran.
Belum lagi dampak yang ada di depan mata pasca penerapan UU PMA dan ACFTA 2010, maka jumlah PHK sudah pasti akan meningkat—dan korban terbesar sudah pasti perempuan yang selama ini dianggap tenaga kerja non-skil (sekadar membantu tambahan penghasilan keluarga) yang boleh dibayar murah. Biaya pendidikan yang semakin mahal, sudah pasti menyingkirkan perempuan-perempuan muda miskin (yang jumlahnya sangat banyak) dari sekolah-sekolah (apalagi Universitas). Merekalah calon-calon manusia yang akan masuk lembah pekerjaan-pekerjaan tidak produktif dan menindas, seperti pembantu rumah tangga, buruh migran, pelacur, pedagang kaki lima, gembel, pengemis, dll.
Tentu saja kapitalisme tidak berkepentingan untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan. Kepentingan mereka hanya tiga: meluaskan pasar, sumber daya alam/bahan mentadf dan tenaga kerja murah. Dalam hal ini, perempuan
Inilah gambaran riil hancurnya tenaga produktif perempuan akibat Kapitalisme.
Lawan Patriarki & Hambatan Demokrasi untuk Partisipasi Perempuan
Reformasi 1998 adalah landasan bagi berkembang luasnya organisasi dan kelompok-kelompok perempuan. Berbagai organisasi perempuan, dari LSM hingga kelompok diskusi kampus; kelompok perempuan kaum miskin
Dengan terbukanya ruang demokrasi, kampanye dan jaminan hak-hak perempuan mulai mewujud, seperti UU KDRT dan kuota politik 30% bagi perempuan, dll. Namun, di sisi lain kebijakan-kebijakan yang diskriminatif bagi perempuan malah semakin banyak di tingkat daerah dengan munculnya perda-perda syariah, perda Injil di Manokwari, Papua Barat, dan perda-perda lain yang serupa (contoh: perda anti prostitusi) serta UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, pelibatan TNI dalam pelaksanaan program KB, yang berujung pada kriminalisasi terhadap perempuan. Penangkapan dan kekerasan terhadap perempuan pun tak terhindarkan, seperti pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Aceh oleh polisi syariah. Terakhir kebijakan RUU pelarangan nikah siri yang kini sedang dibahas juga diprediksi akan berujung kriminalisasi terhadap perempuan.
Berbagai kebijakan tersebut merupakan cerminan dari budaya patriarki yang menghambat kemajuan perempuan. Selain tercermin dari kebijakan yang diskriminatif tersebut, patriarki juga tercermin dalam bentuk fatwa-fatwa agama, yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) maupun kelompok fundamentalis lainnya. Sebagai contoh adalah fatwa larangan rebonding dan pre wedding yang dikeluarkan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur[1]. Sebelumnya, MUI mengeluarkan beberapa fatwa yang mengintervensi hak perempuan, bahkan juga mengancam demokrasi, seperti fatwa menentang pluralisme, golput dan anti ahmadiyah. Sedikit banyak, peran pemuka agama dan kelompok fundamentalis masih memiliki pengaruh di kalangan masyarakat yang memperkuat budaya patriarki.
Mari Membangun Harapan
Tak bisa lagi kita gantungkan harapan kepada para pengumbar janji (partai politik busuk) yang hanya memanfaatkan simpati rakyat & perempuan pada saat pemilu; tidak kepada sisa-sisa orde baru (Golkar dan Tentara) yang telah menutup ruang demokrasi selama 32 tahun pada zaman orde baru; tidak kepada para reformis gadungan yang melanggar semua janji-janji reformasinya; tidak juga kepada para elit politik busuk yang oportunis, rakus, dan berwatak calo yang melanggengkan sistem kapitalisme.
Satu-satunya harapan rakyat & kaum perempuan Indonesia terletak pada kekuatan mobilisasinya sendiri; mobilisasi persatuan perempuan dan seluruh rakyat miskin. Oleh karena itu, tidak boleh tidak, perempuan beserta rakyat tertindas harus membangun alat-alat politik (termasuk partai) yang mandiri, organisasi-organisasi politik revolusioner yang dibangun oleh mobilisasi perempuan terorganisir, dan terus menyatu dengan gerakan demokratik lainnya, yang tidak terkooptasi dan tidak berkooperasi dengan musuh- musuh rakyat (imperialisme, pemerintah boneka imperialisme, sisa-sisa orde baru, reformis gadungan, dan tentara).
Sudah saatnya perempuan keluar dari kegelapan domestik, menyatukan kekuatannya dengan senjata organisasi dan strategi mobilisasi. Mari kita bangun harapan yang sudah disemai oleh jutaan perempuan Indonesia sebelum Orde Baru berkuasa. Mari membangun harapan dengan pergerakan perempuan. Mari membangun harapan dengan menegaskan:
Oleh karena itu, kami, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM), menyerukan:
15 Tuntutan mendesak Perempuan Indonesia
1. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, feminis dan kerakyatan.
2. Kesehatan gratis dan modern untuk seluruh rakyat Indonesia.
3. Lapangan kerja produktif untuk perempuan
4. Peningkatan, Kesetaraan upah dan Keselamatan kerja bagi perempuan.
5. Revisi dan atau cabut seluruh peraturan perundangan yang diskriminatif & menindas perempuan (UU Perkawinan, UU Pornografi, berbagai Perda-perda syariah, dll).
6. Kuota 50% untuk perempuan di seluruh jabatan publik
7. Tolak Kriminalisasi Pelacuran
8. Lawan & Tolak Poligami
9. Turunkan Harga
10. Perumahan, Air Bersih, Transportasi dan Energi murah, sehat, dan massal
11. Pelurusan sejarah gerakan perempuan Indonesia
12. Anak adalah Tanggung Jawab Negara; Bangun tempat-tempat Bermain & Pemeliharaan anak yang murah & berkualitas
13. Lawan diskriminasi terhadap hak-hak LGBT
14. Tanah, Modal, dan Teknologi modern untuk Petani dalam Pertanian Kolektif
15. Stop Pencemaran; Perbaikan Kerusakan Lingkungan Hidup
5 Jalan Keluar Penindasan Perempuan Indonesia
1. Melawan musuh-musuh rakyat dan kaum perempuan
(Pemerintahan agen penjajah asing, sisa orde baru, tentara & milisi sipil reaksioner, reformis gadungan)
2. Industrialisasi Nasional oleh dan untuk Rakyat
3. Pemusatan Pembiayaan dalam Negeri untuk industri nasional dan kebutuhan darurat rakyat & kaum perempuan
(tolak bayar utang hingga rakyat sejahtera; nasionalisasi industri dan perbankan vital di bawah kontrol rakyat; sita harta koruptor dari Soeharto hingga saat ini; pajak bagi transaksi spekulasi, dll)
4. Membangun organisasi dan Pergerakan Perempuan untuk Kekuasaan Rakyat yang setara Jender
5. Membangun Kebudayaan Baru yang Maju, Produktif, Modern dan Feminis
Untuk dapat mewujudkan semu tuntutan dan jelan keluar tersebut, solusi satu-satunya adalah:
Perempuan Keluar Rumah!
Lawan Kapitalisme, Berjuang untuk Kesejahteraan dan Kesetaraan
Ganti Pemerintahan Kapitalis SBY-Boediono; Tinggalkan Elit-elit Politik Busuk
Bersatu, Bentuk Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin
Yogyakarta, 8 Maret 2010
JARINGAN NASIONAL PEREMPUAN MAHARDHIKA
[JNPM-Medan, JNPM-DIY, JNPM-JKT, JNPM-Ternate, Femme-Progresif Palu, Gerakan Perempuan Merdeka Makassar, LISMI-Ternate, FBLP-JKT, PPMP-Bandung, Mahardhika UGM-DIY, KDPD-DIY, Superstar UPN DIY]
Didukung oleh
LMND-PRM, PPRM, KP-PPBI, KPRM-PRD, SeBUMI
Juru Bicara:
Sarinah
Linda Sudiono
Jumisih
Vivi Widyawati
|