(perbandingan hukum perburuhan jaman Orde Lama dan Orde Neoliberal, bisa klik di sini)
Praktek-praktek kebijakan ekonomi penjajahan baru (neoliberalisme) akan semakin masif dijalankan oleh pemerintahan SBY-JK. Hal ini dapat lihat dalam isi pidato kenegaraan SBY yang dibacakan pada tanggal 16 Agustus 2006 lalu di DPR RI. Misalnya saja, dalam soal investasi, pemerintah akan semakin membuka diri dan mempermudah modal asing untuk menguasai seluruh kekayaan dan aset nasional kita. Untuk kepentingan itu, Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal pun sudah diajukan ke DPR dan di DPR, RUU ini pun telah menjadi prioritas untuk segera dijadikan undang-undang. Sementara di bidang ketenagakerjaan, kebijakan upah murah, buruh kontrak dan outsourcing (istilah SBY “buruh luwes”), kemudahan PHK dan berbagai kebijakan lainnya yang merugikan kaum buruh akan menjadi prinsip kebijakan di bidang perburuhan. Semua kebijakan perburuhan ini adalah praktek nyata dari kebijakan neoliberal di bidang perburuhan (kebijakan perburuhan neoliberal).
Praktek-praktek kebijakan ekonomi penjajahan baru (neoliberalisme) akan semakin masif dijalankan oleh pemerintahan SBY-JK. Hal ini dapat lihat dalam isi pidato kenegaraan SBY yang dibacakan pada tanggal 16 Agustus 2006 lalu di DPR RI. Misalnya saja, dalam soal investasi, pemerintah akan semakin membuka diri dan mempermudah modal asing untuk menguasai seluruh kekayaan dan aset nasional kita. Untuk kepentingan itu, Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal pun sudah diajukan ke DPR dan di DPR, RUU ini pun telah menjadi prioritas untuk segera dijadikan undang-undang. Sementara di bidang ketenagakerjaan, kebijakan upah murah, buruh kontrak dan outsourcing (istilah SBY “buruh luwes”), kemudahan PHK dan berbagai kebijakan lainnya yang merugikan kaum buruh akan menjadi prinsip kebijakan di bidang perburuhan. Semua kebijakan perburuhan ini adalah praktek nyata dari kebijakan neoliberal di bidang perburuhan (kebijakan perburuhan neoliberal).
Mengapa kebijakan perburuhan semacam ini kita sebut sebagai kebijakan perburuhan neoliberal? Apa itu yang disebut dengan sistem ekonomi neoliberal? Apakah perjuangan kaum buruh juga harus mengagendakan perjuangan bagi penghapusan sistem neoliberal ataukah sekedar kita mempertahankan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan kita yang saat ini mau dirampas kembali oleh pemerintah SBY?
Pertanyaan-pertanyaan diatas menjadi penting untuk kita jawab. Pejuangan untuk melawan bentuk-bentuk langsung kebijakan yang merugikan kepentingan kaum buruh (perjuangan ekonomi/kesejahteraan) seperti: menolak revisi UUK 13, ketetapan upah minimum yang rendah, menolak PHK, buruh kontrak dan kebijakan lainnya memang lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan perjuangan untuk menghapuskan akar dari lahirnya kebijakan-kebijakan tersebut yaitu sistem ekonomi neoliberalisme (sistem ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum buruh dan mayoritas rakyat). Perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan, hasilnya pun langsung dapat dilihat dengan segera. Sementara perjuangan untuk menghasilkan sistem ekonomi yang berpihak kepada mayoritas rakyat adalah perjuangan yang tidak langsung terlihat hasilnya, dan membutuhkan kekuatan dari seluruh kaum buruh, bahkan kekuatan dari seluruh rakyat yang saat ini dirugikan kepentingannya.
Walaupun demikian, agar kesejahteraan menjadi benar-benar terwujud, gerakan buruh Indonesia membutuhkan kedua bentuk perjuangan tersebut yaitu perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan (perjuangan ekonomi) dan perjuangan untuk membangun sistem ekonomi yang berpihak kepada mayoritas rakyat (perjuangan politik). Perjuangan yang pertama menjadi modal, dan pelajaran untuk terus memperkuat perjuangan kedua.
Berkaitan dengan hal diatas, tulisan ini kembali mempertegas apa yang sudah dihasilkan dalam Konferensi Aliansi Buruh Menggugat (ABM), 24-27 Juli 2006 yang lalu. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat apa itu neoliberalisme, sejarahnya, perbandingan kebijakan perburuhan di masa orla dan saat ini serta membongkar kebohongan pandangan-pandangan neoliberalisme.
Apa Itu Neoliberalisme
Neoliberalisme merupakan istilah lain yang diberikan terhadap perkembangan sistem ekonomi kapitalisme saat ini yang dijalankan di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainya. Kapitalisme sendiri adalah sistem ekonomi dimana alat-alat produksi dimiliki, dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal (pengusaha), sementara kelompok besar lainnya (rakyat pekerja) harus bekerja untuk mendapatkan upah untuk dapat melanjutkan hidupnya. Karena kaum pemilik modal menguasai alat-alat produksi sehingga berikutnya mereka pun memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, dan berikutnya mengontrol agar seluruh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berpihak kepada kepentingan kaum pemilik modal. Sejak tahun 1980-an sistem ekonomi kapitalisme neoliberal ini mulai dipraktekkan di berbagai belahan dunia.
Mengapa disebut Neoliberalisme?
Karena kini kapitalisme mempraktekkan kembali prinsip ekonomi liberal, dimana “persaingan bebas, pasar bebas” harus menjadi dasar dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Tanggung jawab sosial dan perlindungan negara terhadap “kaum lemah” yang sebelumnya dipraktekkan dalam kapitalisme harus digantikan oleh “pasar”, “biarkan pasar menyelesaikannya”. Tugas dari negara, justru menjamin bahwa “persaingan bebas, pasar bebas” bergerak dan berfungsi optimal.
Bentuk kongkret kebijakan “pasar bebas” ini adalah:
- Kekayaan alam, energi, dan seluruh aset suatu negara harus bebas dibuka untuk dimasuki, dimiliki dan dikuasai oleh asing. Artinya kebijakan yang menghambat, membatasi masuknya modal asing harus dihapuskan.
- Pasar dalam negeri suatu negara harus dibuka penuh untuk dimasuki oleh asing. Artinya tidak ada proteksi atau hambatan dari kebijakan negara bagi produk-produk asing untuk masuk, bersaing, dan berikutnya mengalahkan produk-produk dalam negeri. Tidak peduli apakah itu akan menghancurkan industri nasional ataukah tidak
- Swastanisasi atau privatisasi. Konsep bahwa sektor-sektor penting dan dibutuhkan untuk rakyat banyak harus dikuasai oleh negara, -yang muncul dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D)- harus dijual dan boleh dikuasai asing.
- Tanggungjawab sosial negara (keberpihakan dan perlindungan negara) terhadap kelompok mayoritas yang lemah (buruh, petani, nelayan dan rakyat miskin) harus dihapuskan, serahkan semua pada mekanisme pasar, harus dibeli sesuai dengan harga pasar. Bentuk nyatanya adalah: dikurangi hingga dihapuskannya seluruh subsidi. Akibatnya: pendidikan, kesehatan, pupuk, dan segala kebutuhan sosial lainnya menjadi mahal dan tak mampu “dibeli” oleh rakyat kebanyakan
- Begitu pula halnya di bidang ketengakerjaan, segala persoalan yang menyangkut ketenagakerjaan (upah, hubungan kerja, jaminan sosial, lapangan pekerjaan, serikat buruh) biarkan ditentukan oleh pasar.
- Mengapa dan Bagaimana Neoliberalisme bisa berkembang?
- Kapitalisme merupakan sistem ekonomi cikal-bakalnya telah muncul sejak abad 15 dan mencapai titik maju setelah terjadinya revolusi industri. Sepanjang sejarah kapitalisme, sistem ekonomi kapitalisme selalu lah menghasilkan dua hal:
- Krisis ekonomi yang mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan massal.
- Adanya pertentangan antara BURUH dan pemilik modal (kapitalis/pengusaha). Sepanjang kapitalisme ada, pertentangan ini tidaklah akan pernah berhenti. Dari mulai pertentangan antara seorang buruh dengan seorang majikan, hingga pertentangan antara seluruh (organisasi) buruh dengan seluruh majikan.
Pada paruh kedua tahun 1970-an, ekonomi kapitalisme terutama di negara-negara pertama (negara-negara yang tergabung dalam G7) mulai stagnan/mandeg dan membutuhkan adanya pasar yang lebih luas sebagai solusinya. Tetapi rencana ini dirasa terhambat dengan adanya sejumlah kebijakan nasional di negara-negara dunia ketiga dan negara-negara yang baru merdeka yang menghambat masuknya modal dan produk dari dunia pertama. Oleh karena itu kemudian, konsep “pasar bebas” dalam kapitalisme harus kembali dijalankan dengan tujuan yang sama seperti saat mereka MENJAJAH dahulu yaitu: penguasaaan sumber daya alam, kebutuhan akan pasar dan kebutuhan adanya tenaga kerja yang murah. Inilah mengapa sistem ekonomi neoliberal kita sebut sebagai dengan sistem ekonomi PENJAJAHAN BARU.
Sejak awal tahun 1980-an hingga saat ini sistem ekonomi kapitalimse neoliberal telah dipraktekkan secara global di seluruh negeri di dunia dengan menggunakan alat :
- IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan Dunia (WTO). Karena praktis lembaga-lembaga ekonomi dunia ini dikuasai oleh negara-negara penjajah. Misalnya 5 pimpinan Dewan Eksekutif permanen IMF dicalonkan oleh lima pemilik saham terbesar yaitu: Amerika, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang. Jumlah suara di IMF didasarkan pada jumlah setoran pada sumber keuangan IMF. Misalnya saja pada tahun 1990 tercatat bahwa 23 negara dunia I memiliki 62,7 % suara berbanding dengan 35,2 suara yang dimiliki 123 anggota lainnya.
- Hutang Luar Negeri. Lewat hutang luar negeri yang diberikan IMF dan Bank Dunia kepada negara-negara peminjam, mereka mensyaratkan bahwa negara-negara peminjam harus melaksanakan kebijakan ekonomi neoliberal ini.
Kemerdekaan Indonesia bukanlah saja berisi kemerdekaan dari penjajahan, melainkan juga berisi penentangan terhadap sistem kapitalisme. Para pejuang kemerdekaan (dari Soekarno bahkan Hatta) secara tegas-tegas menolak paham kapitalisme dan liberalisme karena mensahkan adanya penghisapan dan penindasaan oleh segelintir orang kepada mayoritas lainnya. Hakikat penentangan terhadap kapitalisme juga nampak nyata dalam UUD 1945 dan berikutnya nampak dalam peraturan perundangan perburuhan orde lama.
Sebelum orde baru, negara secara sadar memandang buruh adalah kelompok yang lemah ketika berhadapan dengan pengusaha sehingga negara harus berpihak dan melindungi kaum buruh. Oleh karena itu, posisi negara dalam kebijakan perburuhan yang dikeluarkan tidak dapat bertindak “netral/tidak berpihak” dalam hubungan buruh dan majikan (pengusaha), melainkan negara harus berfungsi untuk melindungi yang lemah, melindungi buruh.
Sebaliknya sejak orde baru hingga saat ini, seiring dengan sistem ekonomi neoliberalisme yang dipraktekkan sejak Soeharto hingga SBY-Kalla, konsep bahwa negara harus melindungi dan berpihak kepada kaum lemah (kaum buruh), dihapuskan. Bahkan bukan saja “netral” tetapi nampak jelas kebijakan perburuhan yang ada lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal (pengusaha). Berikut beberapa contoh saja perbandingan UU Neoliberalisme (misalnya UUK No.13) dengan UU Perburuhan di masa Soekarno (bagian-bagian dikutip dari tulisan A.S Finawati, ”Buruh di Indonesia: Dilemahkan dan Ditindas”, Pemantau Peradilan.com, 10 Agustus 2005)
Membongkar Kebohongan Pandangan Neoliberalisme tentang Upah Murah
Neoliberalisme, yang telah dipraktekkan sejak awal tahun 1980-an telah terbukti gagal mensejahterahkan kaum buruh dan rakyat miskin bahkan menjadi penyebab dari krisis kemanusiaan dunia saat ini. Apa yang dihasilkan oleh neoliberalisme saat ini tak lain adalah GLOBALISASI KEMISKINAN yang terjadi di seluruh negeri yang menjalankan ekonomi neoliberalisme. Wajar kemudian jika di berbagai belahan dunia saat ini, rakyat bangkit menentang pemerintah yang menjalankan kebijakan ekonomi neoliberalisme, termasuk di negeri-negeri dunia pertama. Bahkan rakyat di negeri-negeri Amerika Latin: Kuba, Venezuela, Bolivia dan Chili telah berhasil merebut kekuasaan dari pemerintahan yang pro neoliberalisme menjadi pemerintahan yang pro kepada buruh dan rakyat miskin lainnya, sekaligus melakukan solidaritas antar negara yang didasari bukan pada kepentingan modal melainkan kepentingan kemanusian serta melawan AS dan sekutunya yang terus ngotot memaksakan kebijakan ekonomi neoliberalnya.
Walaupun kebijakan neoliberalisme telah terbukti gagal, tetapi kampanye-kampanye bohong bahwa kebijakan neoliberalisme akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia terus saja dikampanyekan. Dalam beberapa hal, harus diakui bahkan kebohongan ini juga masuk di kepala kita: kaum buruh dan rakyat kebanyakan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk membongkar kebohongan propaganda neoliberalisme, agar tidak mudah tertipu kebohongan-kebohongan “si tukang jual obat” neoliberalisme ini.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana SBY pada tanggal 16 Agustus yang baru lalu, di hadapan DPR berusaha membohongi kita bahwa praktek neoliberal yang dilakukan pemerintahannya telah berhasil menurunkan angka kemiskinan Indonesia dari 23,4% pada tahun 1999 menjadi 16% pada tahun 2005. Ternyata SBY sengaja menyembunyikan data bahwa jumlah kemiskinan dari tahun 2005-2006 justru meningkat 17,75%. Artinya selama 1 tahun saja (Febuari 2005 – Maret 2006) jumlah orang miskin di Indonesia telah meningkat sebanyak 3,95 juta, dari 35,10 juta jiwa pada Febuari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada Maret 2006. (data dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik/BPS). Bahkan beberapa kalangan meganggap kenaikan jumlah orang miskin jauh lebih besar dari data yang dikeluarkan BPS. Sungguh luar biasa hasil kebijakan ekonomi neoliberal SBY: PEMISKINAN MASSAL!
Begitu pula halnya dengan data pengangguran. SBY mengungkapkan bahwa jumlah pengangguran turun 0,8% dari 11,2 persen pada November 2005 menjadi 10,4 persen pada awal tahun 2006. Sama halnya dengan data jumlah kemiskinan, penyataan jumlah pengangguran menurun adalah sama bohongnya. Berikut faktanya:
- Omset penjualan industri pada triwulan ke-IV 2005 hingga triwulan ke-I 2006, mengalami penurunan antara 30 dan 60 persen akibat kenaikan harga BBM, dan PHK juga terus berlanjut.
- Bahkan kalangan pengusaha pun membantah penyataan SBY ini. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Benny Sutrisno, menyatakan angka pengangguran tidak mungkin menurun, karena kinerja industri dan investasi semakin melamban. Sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terjadi tren pengurangan tenaga kerja karena turunnya omzet penjualan terutama di dalam negeri. Kalau pun ada investasi (industri TPT), hanya berupa penggantian mesin-mesin baru yang canggih dan otomatik, yang justru memperkecil jumlah tenaga kerja di perusahaan tersebut.
- Tidak ada investasi yang masuk ke Indonesia. Hal ini dinyatakan oleh Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dr Aulia Pohan
- Kita pun tahu bahwa PHK terus terjadi menimpa kawan-kawan kita. Kasus-kasus tutupnya perusahaan sudah menjadi gambaran umum yang terus terjadi.
- Terakhir menghadapi momentum kenaikan upah minimum 2007, propaganda bohong neoliberalisme juga pasti akan kembali dimasukkan ke telinga, mata, dan pikiran kita. Propaganda bohong neoliberalisme yang akan terus disuarakan baik oleh pemerintah (SBY-JK, Menaker, Bappenas, Menperindag), pengusaha, maupun oleh intelektual/akademisi/peneliti pro-neliberalisme (seperti lembaga penelitian Smeru) di saat momentum kenaikan upah minimum. Inilah kebohongan propaganda tentang upah yang akan dikampanyekan oleh “si tukang jual obat” neoliberalisme:
- Upah buruh yang tinggi akan menghambat investasi masuk ke Indonesia, bahkan modal yang ada akan lari untuk ditanamkan ke luar negeri.
- Upah buruh yang tinggi akan menyebabkan bangkrutnya perusahaan, dan selanjutnya akan mendorong terjadinya PHK, mendorong bertambahnya jumlah pengangguran.
- Sebaliknya, dengan upah yang murah maka akan menarik investasi asing masuk menanamkan modalnya ke Indonesia, berikutnya menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mengatasi penganguran.
- Bappenas menawarkan (dimasukkan dalam revisi UUK nomor 13) bahwa kenaikan upah minimum dilakukan 2 tahun sekali dan kenaikannya tidak lebih dari 5%.
- Benarkah upah buruh yang tinggi akan menyebabkan investasi tidak masuk ke Indonesia dan bangkrutnya perusahaan? Apa yang menyebabkan investasi asing tidak masuk?
- Jelas, sekali lagi ini adalah propaganda “tukang obat” yang berusaha membohongi kita. Berikut bukti yang menunjukkan bahwa propaganda ini adalah bohong semata:
- Laporan lembaga PBB, UNCTAD tahun 1997 menyebutkan bahwa kemunculan perdagangan investasi spekulatif (jual-beli saham atau perdagangan mata uang) telah melemahkan komitmen investasi jangka panjang pada sektor-sektor produktif (investasi sektor riil). Tahun 2003 saja, uang yang ditanamkan pada investasi spekulatif ini dalam SEHARI saja mencapai 1,2 triltun dolar AS. Bandingkan misalnya dengan jumlah investasi yang ditanamkan pada sektor riil (produktif) di seluruh dunia yang pada tahun 2003 tidak mencapai 1 triltyun dolar AS dalam SETAHUN. Inilah kemudian sering juga disebut ekonomi kapitalisme neoliberal sering disebut ekonomi judi. Jadi investasi tidak masuk disebabkan karena para investor lebih tertarik “berjudi” dalam perdagangan spekulatif dalam bentuk perdagangan saham dan mata uang dibandingkan menanamkan modalnya bagi investasi riil seperti permbangunan suatu industri, bangun pabrik atau investasi riil lainya. Contoh ini juga terjadi di Indonesia.
- Keengganan penguasa modal di dunia pertama untuk mengglobalkan investasinya. Hingga saat ini investasi masihlah berpusat di negara-negara dunia pertama. Laporan lembaga PBB, UNCTAD, World Investment Report 2003, menunjukkan bahwa lebih 71% investasi berada di negara-negara maju, 91% modal berasal dari negeri-negeri maju dan ditanamkan diantara sesama negeri-negeri maju. Artinya hanya kurang dari 9% modal dari negeri-negeri maju yang bergerak ke negara-negara diluar mereka.
- Upah buruh Indonesia tergolong rendah dan tidak ada korelasi/hubungan nyata antara upah rendah dengan masuknya investasi ke suatu negara. Hongkong dan Brunei yang menduduki peringkat 10 besar dalam urutan negara tujuan investasi dunia, justru upah buruhnya tergolong tinggi. Sementara upah buruh Indonesia masihlah tergolong rendah tetapi investasi tetaplah tidak masuk. Menurut Heri Rumwatin, Ketua Apindo Kabupaten Tangerang, dalam salah satu wawancara di bulan Agustus 2005, mengakui bahwa upah buruh masihlah rendah hanya 6-7% dari biaya produksi, justru yang memeberatkan dunia usia adalah “biaya-biaya siluman” yang jumlahnya mencapai 10% dari biaya produksi. Perusahaan Sony yang memindahkan produksinya dari Indonesia ke Vietnam, juga menyatakan bahwa kepindahannya bukan disebabkan upah buruh melainkan karena biaya ekonomi yang tinggi diluar upah buruh (dikutip dari pernyataan ekonom UGM, Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz dalam satu diskusi di Medan, 5 September 2006)
- Upah buruh Indonesia bukanlah persoalan utama yang dikeluhkan oleh pengusaha/investor. Persoalan yang paling dikeluhkan terutama pada adanya biaya: ketidakstabilan makro ekonomi; ketidakpastian kebijakan; korupsi pemerintah lokal dan pusat; pajak; biaya tinggi; tidak adanya kepastian hukum.
Jawabnya adalah bagi pengusaha, mereka melihat dari seluruh komponen biaya produksi hanya upahlah yang masih mungkin dapat ditekan. Mereka tidak memiliki keberanian misalnya untuk memaksa pemerintah menghapuskan berbagai pungutan liar (biaya siluman), penghapusan korupsi ataupun meminta subsidi dari pemerintah. Bagi pemerintah, karena disamping memang tidak berpihak kepada kaum buruh tetapi juga karena upah buruh murah merupakan “titah” dari pemberi hutang: IMF dan Bank Dunia.
Selanjutnya, haruskah kita menuntut standar upah buruh yang tinggi? Apakah pengaruhnya bagi perekonomian kita, apakah upah buruh yang tinggi akan dapat mendorong kemajuan ekonomi kita?
Jawabannya adalah YA!, karena dengan upah tinggi maka barang-barang di pasar dalam negeri akan mampu diserap/dibeli oleh kaum buruh Indonesia, produktivitas akan meningkat, SDM akan meningkat karena kebutuhan fisik, mental, sosial dan pengembangan SDM dapat dipenuhi dengan upah yang tinggi.
Tetapi agar upah buruh yang tinggi dapat menjadi salah satu faktor pendorong bergeraknya ekonomi Indonesia maka, ia haruslah dibarengi dengan kebijakan ekonomi lainnya yang bertolak-belakang dengan model ekonomi neoliberal, yaitu suatu sistem ekonomi yang berorientasi nasional dan kerakyatan (ini harus banyak kita diskusikan lebih serius lagi) yaitu:
- Program Industrialisasi nasional. Prioritas pembangunan Industri adalah industri berbahan baku nasional.
- Produksi untuk PASAR dalam negeri. Sulit bagi kita untuk bersaing dengan negara-negara lain memperebutkan pasar di luar negeri. Dengan Upah pekerja yang tinggi maka barang yang ada di pasar akan mampu diserap/dibeli oleh mayoritas rakyat Indonesia.
- Proteksi/perlindungan industri dan pasar dalam negeri. Jelas walaupun ada program industri nasional bagi pasar dalam negeri tetapi bila ini tidak diikuti dengan kebijakan proteksi terhadap produk dalam negeri tetap tidak akan mampu bersaing dengan kekuatan asing (kekuatan modal dan produk luar) dalam sebuah “persaingan bebas” yang pasti dimenangkan oleh mereka. Karena negara-negara dunia pertama dengan teknologi yang tinggi sudah dapat menjual dengan nilai yang lebih rendah dan kualitas yang baik. Bila ini dibiarkan akan terjadi kebangkrutan industri dan produk-produk dalam neegri pun kalah bersaing dengan produk yang dimiliki asing yang masuk ke indonesia. Fakta ini pun sudah terjadi di kita sekarang. (lihat barang-barang yang dijual di swalayan, mayoritas produk adalah milik asing, baik di produksi di Indonesia maupun diluar).
- Ambil alih (nasionalisasi) seluruh kekayaan alam dan energi yang kini dikuasai oleh asing. Jelas selama kekayaan alam dan energi milik kita telah dirampok oleh negeri-negeri negeri dunia pertama. Kita hanya mendapatkan tetesan keuntungan dari kekayaan kita yang dirampas.
- Ambil alih seluruh aset-aset vital yang diperlukan bagi hajat hidup orang banyak (listrik, telekomunikasi, air, tambang, semen, dan lan sebagainya).
- Pertanyaan selanjutnya, dari mana pemerintah mendapatkan modal untuk melakukan pembangunan ini?
- Pertama harus ada keberanian untuk MENOLAK PEMBAYARAN HUTANG LUAR NEGERI. Toh mereka sudah banyak menikmati baik dari hasil bunga maupun dari kompensasi syarat kebijakan ekonomi neoliberal yang dijalankan sejak Soeharto hingga SBY saat ini. Setiap tahunnya pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri yang jatuh tempo sebesar Rp. 96 triliun, ditambah beban utang dalam negeri Rp. 60 triliun, sehingga setiap tahun Indonesia harus membayar utang Rp150 triliun - Rp170 triliun atau sekitar 27% anggaran negara setiap tahunnya dihabiskan untuk membayar utang.
- Kedua, Tangkap, Adili dan Sita Harta Koruptor untuk Rakyat. Tak terhitung trilyunan duit kita telah dipakai oleh kreditur BLBI, para koruptor APBN/APBD yang tingkat kebocorannya diyakini mencapai hampir 30-50%, dan koruptor-koruptor lainnya, termasuk konglomerat-konglomerat penggelap pajak.
- Ketiga, sebagian pembangunan tersebut juga dapat diserahkan kepada pengusaha dalam negeri yang bukan kroni orde baru, bersih KKN, merupakan pengusaha yang memiliki orientasi “anti penjajahan baru/neoliberal” dan kerakyatan. Saat ini terdapat pula para pengusaha yang memiliki pikiran progresif semacam ini.
sekian
|